Gibran Tetap Sah, MK Menolak Revisi Putusan Batas Usia UU Pemilu
Fransisco Rosarians Enga Geken
29 November 2023 16:20
Bloomberg Technoz, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materiil ulang terhadap norma batas usia capres-cawapres Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana. Majelis Hakim Konstitusi menolak permintaan pemohon untuk menilai ulang atau menyatakan cacat hukum pada putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Menyatakan putusan cacat hukum justru menimbulkan ketidakpastian hukum serta melanggar prinsip negara hukum," kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Foekh, Rabu (29/11/2023). "Putusan Mahkamah Konstitusi, termasuk perkara 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat [final dan mengikat]."
Menurut Daniel, pemohon atau semua pihak yang merasa keberatan terhadap putusan 90/PUU-XXI/2023 bisa menempuh sejumlah cara, termasuk meminta pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan DPR melakukan revisi UU Pemilu. Mahkamah Konstitusi tidak berkenan memberikan penilaian terhadap putusan yang sudah diketok atau dikeluarkan. Hal ini termasuk meski ada hakim MK yang ikut memutus terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Uji materiil mahasiswa Fakultas Hukum tersebut terdaftar pada perkara nomor 141/PUU-XXI/2023. Dalam permohonannya, dia ingin MK menguji ulang Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah diubah melalui putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, Oktober lalu. Saat ini, pasal tersebut dipahami menetapkan batas usia minimal capres dan cawapres adalah 40 tahun; atau lebih muda asalkan sudah atau sedang menjabat kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan langsung oleh masyarakat untuk tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
Kuasa hukum Brahma, Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah memaparkan putusan pada perkara 90/PUU-XXI/2023 tersebut bermasalah. Menurut mereka, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membuktikan putusan perkara tersebut kental pelanggaran kode etik berat. Hal ini merujuk pada terbuktinya Anwar Usma, sebagai ketua MK, konflik kepentingan dengan ikut memutus dan diduga mempengaruhi putusan perkara tersebut.