Menurut lembaga pemeringkat utang itu, kualitas kredit penerbit utang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, seperti; polusi, bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia, atau perubahan iklim.
“Cara lain adalah melalui inisiatif peraturan atau kebijakan yang berupaya memitigasi atau mencegah dampak-dampak ini,” tulis laporan Moody’s.
Sektor Terdampak
Pertambangan batu bara, yang paling terpapar faktor-faktor lingkungan ini, tadinya merupakan satu-satunya sektor yang menghadapi risiko kredit lingkungan hidup yang sangat tinggi pada 2020.
Namun, saat ini, risiko tersebut meluas ke enam sektor, yaitu; pertambangan batu bara, bahan kimia, pertambangan selain batu bara, serta tiga sektor minyak dan gas bumi (migas) – yang mencakup eksplorasi independen, korporasi minyak terintegrasi, serta kilang dan pemasaran.
Perusahaan-perusahaan di sektor-sektor migas secara kumulatif diperkirakan menyumbang sekitar US$1,7 triliun dari total proyeksi utang senilai US$4,2 triliun tersebut, sedangkan sektor bahan kimia mewakili sekitar US$594 miliar.
Adapun, sektor batu bara ‘hanya’ menyumbang US$4 miliar seiring dengan mulai menurunnya permintaan terhadap komoditas energi fosil itu. Sementara itu, risiko utang dari sektor pertambangan selain batu bara mencakup US$205 miliar.
Efek ke Konsumen
Meningkatnya paparan terhadap risiko lingkungan juga dapat berdampak pada konsumen. Menurut lembaga tersebut, masyarakat di daerah yang rawan terhadap badai hebat mungkin akan menghadapi tagihan listrik yang lebih tinggi seiring dengan beban biaya yang ditimbulkan akibat kerusakan akibat badai tersebut.
Pengelolaan air yang buruk di negara-negara yang mengalami panas ekstrem juga dapat membatasi akses terhadap air minum bersih.
“Di sisi lain, pembeli mobil memiliki lebih banyak pilihan kendaraan listrik dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, karena produsen mobil berinvestasi besar-besaran untuk memenuhi peraturan emisi yang lebih ketat,” papar Moody’s.
(wdh)