Adapun, untuk kontrak dengan China National Technical juga sudah dilakukan amandemen dan dinyatakan kembali dalam rangka menjaga kepentingan perseroan.
Belum lama ini, PGAS melaporkan kondisi kahar atau force majeure gegara pelaksanaan transaksi jual beli gas LNG dengan Gunvor Singapore. Kondisi tersebut dilaporkan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 3 November.
Rachmat saat itu menjelaskan bahwa akar masalah transaksi tersebut diawali dengan PGAS dan Gunvor menandatangani master sale and purchase agreement (MSPA) berkaitan dengan jual beli LNG.
Transaksi tersebut didasari bahwa PGAS akan menjual LNG tertentu dari portofolio Pertamina kepada Gunvor. PGAS sendiri merupakan subholing Pertamina, yang bergerak dalam jual beli LNG.
"Karena keadaan yang tidak terduga di luar kendali perseroan, novasi [pembaruan perjanjian] portofolio LNG Pertamina ke perseroan tertunda, sehingga berimbas kepada terkendalanya pengiriman kargo LNG kepada Gunvor," katanya dalam pernyataan resmi.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM), volume ekspor LNG tercatat mengalami penurunan selama periode 2018—2022.
Pada 2022, total volume ekspor LNG indonesia sekitar 444,014 juta metric million British thermal units (MMbtu).
Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan 2021 yang sebesar 459,55 juta MMbtu, 2020 sebesar 507,431 juta MMbtu, 2019 sebesar 512,516 juta MMbtu, dan 2018 yang sebesar 696,339 juta MMbtu.
Dalam rentang tersebut, China menjadi negara tujuan utama ekspor gas alam cair RI. Negeri Panda menyumbang sekitar 30%—40% dari total ekspor LNG indonesia yang menyasar ke 13 negara.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada rentang yang sama, nilai ekspor gas Indonesia tercatat mengalami penurunan.
Pada 2018, nilai ekpor gas Indonesia mencapai US$10,4 miliar juta. Angka ini turun pada 2019 yang sebsar US$8,3 miliar, lalu anjlok lagi menjadi US$5,4 miliar pada 2020, sebelum naik lagi pada 2021 (US$7,4 miliar) dan 2022 (US$9,7 miliar).
(wdh)