Logo Bloomberg Technoz

Meski demikian, sebelum ke 'Momen' tersebut atau masa-masa jelang Pemilu, investor cenderung mengindikasikan aksi wait and see yang tercermin dari pencapaian jumlah frekuensi transaksi perdagangan saham secara keseluruhan yang tercatat lebih rendah dibandingkan dengan di tahun masa Pemilu dilaksanakan.

Berdasarkan data historis Bursa Efek Indonesia (BEI), dalam satu tahun menjelang diselenggarakannya Pemilu, yang mana ini terjadi pada 2013 dan 2018 dengan didasari atas ketidakpastian yang ada di pasar.

Pada 2013, atau satu tahun jelang Pilpres, investor pasar saham hanya mencatatkan frekuensi transaksi perdagangan sebanyak 37,49 juta kali. Tren yang sama juga dilanjutkan pada 2018 yang membukukan jumlah frekuensi hanya 92,83 juta kali.

Mencermati 2014, pada tahun pesta demokrasi, investor terlihat makin semringah dan aktif di perdagangan pasar saham, dengan berhasil mencatatkan peningkatan frekuensi transaksi perdagangan mencapai sebanyak 51,45 juta kali, dengan kata lain ada peningkatan aktivitas hingga 37,22% secara tahunan.

Senada dengan tahun 2019, investor pasar modal berhasil mengakumulasi frekuensi perdagangan saham mencapai 114,85 juta kali, aktivitas transaksi tersebut melonjak 23,72% secara tahunan.

Menariknya lagi, selain frekuensi perdagangan saham tersebut, data perdagangan lainnya di Bursa Efek Indonesia juga ikut mendukung, seperti volume perdagangan dan nilai transaksi saham secara rata-rata harian yang meningkat pesat di antara tahun 2018 dan tahun 2019.

Tahun Volume Perdagangan Rata-rata Harian Nilai Transaksi Saham Rata-rata Harian
2018 10,56 Miliar Saham Rp8,5 Triliun
2019 14,54 Miliar Saham Rp9,1 Triliun

Sumber: Tim Riset Bloomberg Technoz, Bursa Efek Indonesia    

Di mana volume perdagangan 2018 tercatat dengan rata-rata harian 10,56 miliar dan dengan Rp8,5 triliun nilai transaksi harian. Berselang satu tahun, di 2019 rata-rata harian tersebut naik menjadi 14,54 miliar saham dan Rp9,1 triliun nilai transaksi saham diperdagangkan setiap harinya. Dengan masing-masing ada kenaikan 37,58% dan 7,12% secara tahunan.

Dapat ditarik kesimpulan, setelah masa pemungutan suara, pasar saham dalam negeri terjadi reli dari peningkatan aktivitas transaksi yang dicerminkan frekuensi perdagangan, volume saham dan juga nilai transaksi. Seiring dengan pencapaian ini sekaligus mendukung penguatan IHSG pada masa tersebut.

Kondisi kala itu mencerminkan semakin meningkatnya kepercayaan diri investor terhadap keberlangsungan perekonomian Indonesia setelah melewati masa-masa Pemilu.

Adapun berdasarkan data pada tahun 2013, jelang Pemilu berlangsung, IHSG mencatatkan return negatif, atau dengan imbal hasil minus 0,98% dan menutup perdagangan tahun 2023 parkir di posisi 4.274,17.

Berselang satu tahun, pada 2014 IHSG berhasil bangkit dan mencatatkan kenaikan double digit mencapai 22,29% ke posisi 5.226,94. 

Tren yang sama juga terjadi di 2018, di mana return IHSG bersifat negatif 2,54% dan menutup tahun di posisi 6.194,49. Sama halnya juga dengan 2019, dengan kembali bangkit menjadi return positif dan memberikan imbal hasil yang positif 1,7% ke posisi 6.299,53.

Sektor Saham Potensial

Jika menelaah lebih jauh data historis di atas, sejumlah sektor saham berpotensi diuntungkan setelah masa Pemilu berjalan lancar, yang diiringi dengan reli pada IHSG. 

Andhika Audrey, Equity Analyst Panin Sekuritas memaparkan, Pemilu sudah menjadi bagian dari jalannya demokrasi di Indonesia, di mana acara tiap 5 tahun ini mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya sektor consumer goods karena belanja dari Pemilu yang lebih besar dari tahun-tahun biasanya. 

Berbeda dengan pemilu di tahun-tahun sebelumnya, Pemilu 2024 merupakan pemilu serentak pertama yakni dengan pemilu legislatif, Pilpres, dan juga Pilkada yang dilakukan di tahun yang sama.

Bendera partai politik jelang pemilihan umum (pemilu) di depan kantor KPU, Jakarta, Rabu (18/10/2023). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

"Kami meyakini bahwa efek ekonomi yang dihasilkan pada pesta demokrasi tahun ini akan lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya," jelas Andhika.

Dengan demikian, secara langsung dan tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang secara otomatis meningkatkan permintaan. Dalam situasi seperti ini emiten pada sektor consumer goods mendapatkan potensi cuan.

“Patut dicermati bahwa terdapat lonjakan porsi top-line beberapa emiten konsumen yang kami cover dengan dukungan: (1) Moderasi harga agrikultur, (2) Keyakinan konsumen yang masih di level optimis, serta (3) Mobilitas masyarakat yang mendukung konsumsi, serta kenaikan ASP di 1Q23 membantu dalam pertumbuhan perbaikan margin setelah di tahun 2022 adanya kenaikan pada soft commodity,” terangnya dalam riset terbaru.

Andhika merekomendasikan netral untuk sektor consumer goods dengan top pick MYOR (Implied PE 22,8 di 2024F) dengan target harga potensial dapat mencapai Rp3.200/saham.

Selain itu, terdapat saham potensial INDF dengan target harga Rp8.850/saham, ICBP dengan target Rp13.100/saham, ROTI dengan target Rp1.800/saham, dan saham UNVR dengan target Rp4.100/saham.

Adapun sektor saham potensial lainnya yang dapat dipertimbangkan memiliki prospek cerah adalah telekomunikasi. Menjelang tahun pemilu pada dasarnya penggunaan traffic data seluler meningkat pesat.

Ditambahlagi dengan dunia digital jadi saluran aspirasi atau kampanye pilihan banyak kelompok politik ataupun partai politik jelang tahun Pemilu 2024.

(fad/aji)

No more pages