Dalam hal ini, algoritma Facebook menyukai konten yang menghasilkan keterlibatan, termasuk suka, berbagi, dan komentar. Konten yang sensasional atau kontroversial, termasuk hoaks, dinilai seringkali mendapat interaksi yang tinggi sehingga meningkatkan jangkauannya.
“Orang cenderung mempercayai informasi yang dibagikan oleh teman dan keluarga. Di Facebook, di mana hubungan sosial adalah hal yang terpenting, kepercayaan ini dapat menyebabkan penerimaan dan penyebaran informasi yang salah secara kritis,” lanjutnya.
Selain itu, Mafindo melihat isu politik tetap paling populer atau sebesar 73% dari 67 hoaks dibanding isu yang lain. Selain diwarnai oleh dinamika proses politik menjelang pemilu 2024, hoaks politik juga banyak menyoroti konflik Palestina vs Israel.
Selain itu, Mafindo mencatat, terdapat 1.731 hoaks pada periode Januari hingga September 2023 dan 54% dari jumlah tersebut merupakan hoaks politik yang menjurus pemilu.
Ketua Komite Media Sosial Mafindo, Silma Agbas menjelaskan, bentuk hoaks yang diperbincangkan adalah Calon Presiden Prabowo Subianto menampar Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qolbi di ruang rapat, hoaks tentang Capres Anies Baswedan.
“Selain kandidat, [hoaks juga berupa] proses pemilu. Contoh [hoaks] ODGJ yang bisa memilih di pemilu. Tidak semua menyerang kandidat, tapi juga prosesnya,” ujar Silma dalam media briefing di Jakarta.
(dov/wep)