Logo Bloomberg Technoz

"Makanya, kami fokusnya enggak hanya ke DME. Nanti kita kaji semua [opsi], mana yang paling memungkinkan untuk direalisasikan dengan segera."

Saat mengundurkan diri dari proyek DME Bukit Asam awal tahun ini, APCI beralasan ingin alih fokus pada proyek hidrogen biru (blue hydrogen) di AS yang dijanjikan dengan gelimang insentif yang lebih menggiurkan oleh Presiden Joe Biden.

Proyek mercusuar DME oleh PTBA dan APCI itu sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi pun kerap menyinggung proyek gasifikasi batu bara itu dapat mengurangi beban subsidi energi untuk LPG senilai Rp7 triliun per tahun.

Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI senilai US$2,1 miliar, proyek itu awalnya digadang-gadang sanggup memenuhi kebutuhan 500.000 ton urea per tahun, 400.000 ton DME per tahun, dan 450.000 ton polipropilen per tahun. 

Tambang batu bara di Kalimantan. (Dimas Ardian/Bloomberg)


Menyitir pernyataan resmi Pertamina, dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini diklaim dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan.

Selain itu, proyek ini diharapkan dapat memberikan efek domino seperti menarik investasi asing lainnya dan –melalui penggunaan porsi tingkat komponen dalam negeri (TKDN)– proyek itu juga dapat memberdayakan industri nasional dengan penyerapan tenaga kerja lokal.

Insentif Kurang Menarik

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai insentif tambahan, yang akan diberikan pemerintah untuk proyek penghiliran batu bara, sejauh ini tidak cukup ampuh mendongkrak investasi di bidang gasifikasi komoditas energi fosil tersebut di dalam negeri.

Dia berpendapat beberapa insentif yang diberikan kepada perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebenarnya sudah cukup menarik dan sesuai dengan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. 

Misalnya, kata dia, dalam hal pembebasan iuran produksi atau royalti kepada perusahaan yang sudah menjalankan penghiliran batu bara serta insentif masa berlaku izin usaha pertambangan (IUP). Walakin, dia tidak mengelak masih banyak isu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.

"[Insentif-insentif] Itu positif jadi ada jaminan ke arah sana. Namun, balik lagi, untuk jadi bisa tangible [konkret manfaatnya], apakah cukup insentif-insentif tadi? Belum tentu," ujar Hendra.

Grafik dominasi batu bara dalam industri di Indonesia. (Sumber: Bloomberg)

Dia juga mengakui salah satu isu dalam penghiliran batu bara adalah kebutuhan biaya yang tidak sedikit untuk memulai proyek gasifikasi komoditas tulang punggung ekspor nonmigas tersebut.

Dalam hal ini, pemerintah mulai mewajibkan korporasi-korporasi batu bara —termasuk Kaltim Prima Coal (KPC), Adaro, Arutmin, Kideco— untuk melakukan penghiliran sebagai syarat memperoleh perpanjangan IUP.

Permasalahannya, pengusaha ditantang oleh kesulitan mendapatkan pendanaan dari lembaga keuangan, padahal proyek gasifikasi membutuhkan investasi dalam jumlah besar. 

Untuk itu, dia menilai insentif pembiayaan dinilainya bakal lebih efektif mengatrol investasi proyek gasifikasi batu bara di dalam negeri.

"Ya selayaknya investasi, ya harus ada financing [pendanaannya], gitu. Nah, itu yang jadi masalah karena kan untuk proyek baru, pendanaan kan susah apalagi untukk proyek yang coal-related," terangnya. 

Batu bara milik PT Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. (Dok Dadang Tri/Bloomberg)

Serapan Terbatas

Isu lainnya adalah belum cukupnya sektor industri hilir lain di dalam negeri yang dapat menjamin serapan produk derivatif gasifikasi batu bara, seperti DME, metanol, gas sintetik, maupun hidrogen dan amonia.

"Jadi jangan semua dibebankan ke industri pertambangan batu bara kan? Balik lagi ke basic yang saya sebutin tadi, kita kan tambangnya batu bara, kita tahu bara, tetapi kita enggak tahu pasarnya LPG dan gas sintetik [yang merupakan produk turunan gasifikasi batu bara] ini," jelas Hendra.

Selain itu, harga jual produk turunan batu bara dinilai belum kompetitif melawan harga gas dan LPG. Dengan demikian, pengusaha juga membutuhkan jaminan aturan harga yang konsisten dari pemerintah, mengingat gasifikasi merupakan proyek jangka panjang yang membutuhkan kepastian serapan pasar. 

(wdh)

No more pages