China tampak menghindari penyebutan aliansi antariksa Beijing-Moskow sejak invasi Rusia ke Ukraina setahun lalu, meski para diplomatnya mengatakan hubungan antara kedua negara kuat.
Saat membahas proyek bulan di Kongres Astronautika Internasional (International Astronautical Congress/IAC) di Paris September lalu, perwakilan China bahkan tidak menyebut Rusia. Media China juga kerap menghilangkan nama Rusia saat menyebutkan program luar angkasa Beijing.
Rencana kunjungan Yury Borisov, kepala program luar angkasa Rusia, ke China yang diperkirakan terjadi minggu ini pun tampaknya tidak dapat memperbaiki situasi ini. Desember lalu, Borisov mengatakan kepada media Rusia bahwa kedua negara telah membentuk perjanjian ruang angkasa baru. Namun, pernyataan tersebut hingga kini belum dikonfirmasi oleh pemerintah China dan sebaliknya, Beijing telah menunjukkan bahwa ia dapat mewujudkan ambisinya sendiri, termasuk stasiun luar angkasa.
Sebagian besar program luar angkasa milik China saat ini telah mengejar, bahkan melampaui, Rusia, kata He Qisong, profesor di Universitas Ilmu Politik dan Hukum China Timur di Shanghai. “Alih-alih memberikan nilai praktis, kerja sama keantariksaan ini lebih membangun simbolisme.”
Namun, Beijing sendiri sadar bahwa tanpa adanya sekutu yang kuat, ia tak akan bisa menentang dominasi AS di antariksa.
Badan antariksa AS (National Aeronautics and Space Administration/NASA) diketahui telah memulai perlombaan antariksa untuk kembali mendaratkan manusia di bulan pada November tahun lalu. Mereka telah menargetkan misi pendaratan astronot di bulan pada tahun 2025, sebuah jangka waktu yang dianggap ambisius oleh banyak orang.
China sendiri belum menyampaikan jadwal rencananya untuk mengirim manusia ke bulan. Negara tersebut masih berusaha mengejar ketertinggalannya dalam peluncuran satelit ke orbit Bumi.
Namun untuk saat ini, China memilih untuk menggunakan strategi diplomasi lunak untuk bersaing dengan AS melalui program luar angkasanya. Inilah mengapa Beijing dan Moskow membuka Stasiun Penelitian Bulan Internasional ke negara lain yang disebut untuk mempromosikan eksplorasi manusia dan penggunaan luar angkasa untuk tujuan damai.
Sejumlah negara diketahui telah mendaftar untuk bergabung dalam Perjanjian Artemis, proyek NASA yang bertujuan untuk menetapkan prinsip-prinsip eksplorasi bulan. Namun, hingga saat ini belum ada negara yang bergabung dengan China dan Rusia untuk proyek ILRS.
Para ahli memandang kesenjangan tersebut sebagai tanda ketidaksepakatan dunia tentang siapa yang harus menetapkan standar dan aturan eksplorasi di masa depan. Dalam beberapa bulan terakhir, Nigeria dan Rwanda merupakan negara Afrika pertama yang bergabung dalam Perjanjian Artemis. Langkah ini menggagalkan upaya diplomatik China untuk mendapatkan dukungan Afrika.
Kemunduran lain terjadi pada Januari, saat kepala Badan Antariksa Eropa (European Space Agency/ESA) mengatakan gugusnya membatalkan rencana yang ditandatangani pada 2015 untuk melakukan perjalanan ke stasiun luar angkasa China yang baru saja selesai. Namun, kerja sama terkait satelit untuk mempelajari angin matahari akan tetap berjalan.
Mark Hilborne, dosen di departemen Studi Pertahanan di King's College London mengatakan bahwa China dan AS berada dalam ketegangan hubungan, dan AS cenderung lebih mudah menarik mitra daripada China.
Sementara itu, pejabat di badan antariksa China dan Rusia tidak menanggapi permintaan komentar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perang di Ukraina telah memengaruhi program luar angkasa Rusia. Konflik tersebut membuat Badan Antariksa Rusia (Roscosmos) kehilangan kemitraannya dengan ESA. Ini terjadi setelah ESA membatalkan kerja sama pada beberapa misi ke bulan dan menangguhkan proyek pengiriman pesawat ruang angkasa ke Mars.
Rusia juga kehilangan kerja sama dengan OneWeb Ltd. setelah perusahaan satelit yang berbasis di London Maret lalu itu menangguhkan semua peluncuran dari landasan peluncuran yang dikendalikan Rusia.
Meski digempur oleh sederet masalah, program luar angkasa Rusia belum sepenuhnya mati. Roscosmos minggu lalu mengumumkan rencananya untuk mengirim satelit ke bulan pada bulan Juli. Astronot Rusia dan Amerika juga masih melakukan kerja sama di ISS. Namun, Rusia mengatakan akan keluar dari ISS setelah 2024, dan stasiun itu akan pensiun pada akhir dekade ini.
Upaya isolasi Rusia dari program luar angkasa ini membuat China mau tak mau harus menemukan lebih banyak mitra di saat dunia yang tengah mempersiapkan era baru menuju aktivitas komersial di luar angkasa. Beijing akan kesulitan menolak upaya AS untuk menetapkan aturan ekonomi luar angkasa jika hanya memiliki Rusia sebagai mitra luar angkasa.
Biar begitu, China juga memiliki keberhasilan dalam merayu calon mitra lainnya. Dalam perjalanan ke Arab Saudi pada bulan Desember, Presiden Xi Jinping mengundang kedatangan astronot dari kerajaan dan negara-negara Teluk lainnya untuk melakukan perjalanan ke stasiun luar angkasa China. Badan antariksa China dan Uni Emirat Arab mengumumkan pada bulan September bahwa mereka akan menggarap proyek antariksa bersama, salah satunya adalah eksplorasi bulan.
Tak hanya itu, sebuah perusahaan yang berbasis di kota Shenzhen di China selatan pada Januari lalu menandatangani perjanjian awal dengan Djibouti untuk membangun pelabuhan antariksa di negara Afrika Timur. Fasilitas tersebut disebut akan memiliki tujuh landasan peluncuran satelit dan tiga landasan pengujian roket.
Program luar angkasa Rusia yang lebih kecil pun masih bisa memberikan keuntungan bagi China. Misalnya, kedua negara telah sepakat untuk menjalin kerja sama dalam sensor berbasis ruang angkasa untuk satelit guna mendeteksi rudal balistik dan hipersonik, kata Hilborne, dari King's College. Menurutnya, Rusia masih lebih maju dalam hal menggunakan dan mengoperasionalkan teknologi.
Borisov telah berjanji untuk menghidupkan kembali program Rusia, meskipun negara tersebut sekarang berada jauh di urutan ketiga dalam hal produksi satelit.
Kemampuan Rusia untuk mengembangkan program luar angkasanya tampaknya akan tetap tidak menentu meski dengan bantuan China sekali pun. Akibat konflik dengan Ukraina, perekonomian Rusia semakin bergantung pada kerja sama dengan China, mulai dari perdagangan hingga teknologi.
--Dengan asistensi dari Robert Fenner.
(bbn)