“Di satu sisi, memang tentu ada beberapa pertimbangan dari perbankan menyangkut risiko-risiko kreditnya. Tapi di sisi lain, kebijakan KUR pada esensinya adalah untuk mendorong produktivitas UMKM dalam beberapa aspek,” ujar Eko.
Dia pun mencontohkan, misalkan KUR digunakan untuk membeli kendaraan ataupun merenovasi rumah. Renovasi rumah sudah pasti konsumtif, tapi membeli kendaraan dengan tujuan untuk produktif, misalkan mengojek atau sebagai kendaraan operasional, sebetulnya masih berkaitan dengan upaya untuk mendorong produktivitas UMKM.
“Jadi harus dilihat juga nanti si banknya lebih detail, ini KUR sebetulnya kenapa dia harus membeli kendaraan dan lain-lain atau misalkan renovasi, kalau kemudian renovasinya dipakai untuk bikin kafe atau warung, itu kan tentu tidak bisa juga dikatakan konsumtif, tapi mendukung usahanya,” jelasnya.
Ia menilai aturan KUR masih perlu diperbaiki untuk memastikan kredit ini tidak salah sasaran, karena arah KUR adalah kepada UMKM, terutama bagi yang baru mengenal lembaga keuangan formal. Mereka memerlukan subsidi bunga untuk memastikan usahanya berjalan dengan baik.
Eko memberikan saran agar KUR bisa tepat sasaran. Pertama, perbaikan regulasi, tapi tidak terlalu ketat karena nanti tidak akan ada yang bisa menerima KUR. Artinya, regulasi yang dihasilkan melalui evaluasi pelaksanaan KUR-nya.
“Jadi misalkan tadi agunan masih perlu, kalau kemudian kreditnya di bawah Rp100 juta, terus pemanfaatan yang jelas ini harus untuk kredit produktif, bukan konsumtif. Kata-kata produktif ini perlu diderivasi lebih detail lagi. Kalau kendaraan, tapi dipakai usaha, ya produktif,” kata Eko.
Aspek yang lain, menurutnya, adalah anggaran dari pemerintah yang tiap tahun rata-rata meningkat, tapi jumlah penerima KUR bertambah tidak sebesar dari penambahan anggaran.
“Pelaksanaan KUR yang tidak tepat sasaran ini harus dicarikan solusi, misalkan penerimanya jangan dia lagi, dia lagi. Pemerintah harus memastikan bahwa nanti terjadi kredit bergulir. Jadi penambahan anggaran di APBN juga menambah penerima KUR,” tukasnya.
Sebelumnya, Kemenkop-UKM menemukan ada debitur KUR Mikro dan KUR Super Mikro dengan plafon sampai dengan Rp100 juta yang dikenai agunan tambahan.
"Agunan tambahan yang tidak wajar, melebihi dari jumlah akad yang diterima," kata Yulius menegaskan.
Hasil evaluasi lainnya, sambung dia, terdapat dana KUR yang diendapkan oleh bank, yaitu dengan cara diblokir atau ditahan beberapa bulan sebagai semacam jaminan.
"Lalu, ada debitur KUR yang pada saat menerima kreditnya, ternyata pernah atau sedang menerima kredit lainnya," kata Yulius.
Yulius menekankan penyalur KUR yang meminta agunan tambahan dalam program KUR dengan plafon sampai dengan Rp100 juta, dikenai sanksi berupa subsidi bunga atau marjin KUR tidak dibayarkan atau pengembalian subsidi bunga atau marjin yang telah dibayarkan.
Yulius menjelaskan, suku bunga/margin KUR skema Super Mikro (plafon maksimal Rp10 juta) ditetapkan sebesar 3 persen, KUR Mikro dan KUR Kecil tetap sebesar 6 persen untuk debitur KUR baru, serta suku bunga meningkat berjenjang sebesar 7 persen, 8 persen, dan 9 persen untuk debitur KUR berulang.
Selain itu, dipaparkan pula ketentuan pembatasan jumlah akses ke KUR Mikro (plafon di atas Rp10 juta-Rp100 juta) berdasarkan sektor ekonomi. Pertama, sektor produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan (4P) dapat mengakses KUR sebanyak maksimal 4 kali.
"Sementara sektor produksi non (4P) dan perdagangan, dapat mengakses KUR maksimal 2 kali," kata Yulius.
Berdasarkan data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP), realisasi penyaluran KUR sampai 20 November 2023 tercatat sebesar Rp218,40 triliun atau sebesar 73,54% dari target sebesar Rp297 triliun kepada 3,93 juta debitur. Artinya, masih ada Rp79 triliun plafon KUR yang belum tersalurkan.
(ros/lav)