“[Misalnya], kita juga harus menjaga jangan sampai baterai-baterai yang akan berada di Indonesia ini mengandung lead acid. Ini sangat berbahaya untuk lingkungan. Nah, ini juga perlu diatur,” tegasnya.
Ketiga, riset dan pengembangan. Menurut Toto, selama ini hampir seluruh mitra kerja sama IBC belum mau membagikan secara holistik hasil riset dan pengembangan mereka terhadap baterai EV. “Jadi kita harus memiliki kemampuan itu,” ujarnya.
Keempat, daur ulang baterai. Toto menegaskan sangat penting bagi Indonesia untuk mengatur tata laksana daur ulang baterai EV.
“Ini sangat memungkinkan untuk kita mengatur circular baterai, karena 99,4% dari baterai itu bisa kita recover kembali. Namun, pengaturannya ini harus ada regulasinya dan kejelasan dari segi pemain-pemainnya,” kata Toto.
IBC menyebut Indonesia memiliki potensi pengembangan industri baterai dengan kapasitas mencapai 60 GWh atau setara dengan daya untuk 400.000—600.000 kendaraan listrik roda empat dan 3—4 juta unit roda dua.
“Setelah hilirisasi [tambang mineral untuk industri baterai], kita akan mendapatkan produksi pertama battery cell dari pertambangan pada 2026. Potensi industri baterai ini dapat mengurangi emisi sebesar 9 juta ton CO2 per tahun, atau setara dengan kurang lebih 8% dari total kendaraan nasional. Lalu, dapat juga mengurai impor hampir 30 juta barel fossil fuel per tahun,” papar Toto.
Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS), impor BBM RON 90 - atau setara bensin bersubsidi Pertalite - menembus 15,11 juta kiloliter (kl) pada tahun lalu. Angka itu meroket 86% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 8,14 juta kl dan 36% dibandingkan dengan 2019 yang sebanyak 11,08 juta kl.
(wdh)