Sebagai catatan, PSR merupakan program untuk membantu pekebun rakyat memperbarui perkebunan kelapa sawit yang sudah tidak produktif, khususnya yang usia tanamannya sudah mencapai 25 tahun.
Program ini diharapkan mampu meningkatkan standar produktivitas hingga 10 ton tandan buah segar/ha/tahun dari 3 tandan buah segar/ha/tahun.
Dalam program ini, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyalurkan bantuan dana kepada pekebun rakyat peserta PSR senilai Rp30 juta per ha/pekebun.
Terdapat tiga model skema pembiayaan yang bisa diterapkan dalam program ini berdasarkan kemampuan pekebun.
Pertama, kebutuhan biaya dipenuhi dari dana bantuan BPDPKS sebesar Rp30 juta/ha/pekebun ditambah dengan dana tabungan milik pekebun.
Kedua, kebutuhan dana pembiayaan dipenuhi dari dua sumber, yakni memanfaatkan dana bantuan BPDPKS dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari pekebun.
Ketiga, dana pembiayaan diperoleh dari tiga sumber yakni bantuan BPDPKS, tabungan pekebun, dan KUR.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan, dalam pelaksanaan program PSR, terdapat beberapa tantangan baik dari sisi pekebun, perusahaan, bank penyalur kredit usaha rakyat (KPR), maupun pemerintah.
Menurut Musdalifah, masih banyak pekebun yang tidak memenuhi persyaratan program PSR. Mereka tidak memiliki tabungan, agunan, mitra, dan luas lahan yang dimiliki melebihi batas maksimal 4 ha/kepala keluarga (KK).
Dari sisi bank penyalur KUR, tantangan yang dihadapi adalah kurangnya jumlah pihak ketiga atau mitra yang bersedia menjadi penjamin. Pekebun juga membutuhkan kepastian mengenai kepemilikan lahan untuk menjadikannya sebagai agunan.
"Tingginya biaya pembiayaan karena adanya biaya kompensasi loan take over," ujarnya.
Kemudian, untuk perusahaan, tidak semua lahan kelapa sawit milik rakyat memenuhi kriteria mereka. Salah satunya adalah lahan yang tidak berada dalam satu kawasan atau tersebar.
"[Perusahaan] membutuhkan pembiayaan dengan suku bunga rendah untuk menarik minat pekebun dalam bermitra," ungkapnya.
Terakhir, dari sisi pemerintah tantangan yang dihadapi adalah kelembagaan pekebun yang belum sepenuhnya terkelola.
Legalitas lahan pekebun juga masih memerlukan percepatan sertifikasi. Di sisi lain, pengumpulan dan verifikasi dokumen administrasi membutuhkan waktu.
(rez/wdh)