Rupiah saat ini sedang tertekan karena tren penguatan dolar AS dan arus modal keluar (outflow) untuk kali pertama sejak Oktober 2022. Setelah reli yang didukung oleh proyeksi perlambatan pengetatan moneter di AS, trader kini mulai kurang bullish di aset-aset negara berkembang karena The Federal Reserve/The Fed tetap akan melanjutkan kebijakan yang agresif.
Dalam beberapa hari terakhir, rupiah kehilangan momentum apresiasi. Sepanjang bulan ini, rupiah melemah sekitar 1,5% setelah pada Januari 2023 membukukan penguatan bulanan terbesar dalam hampir 3 tahun terakhir karena surplus transaksi berjalan dan arus modal masuk, utamanya di pasar obligasi.
Sejumlah tantangan ekonomi membuat prospek penguatan rupiah mereda. Barclays Plc memperkirakan transaksi berjalan Indonesia akan membukukan defisit 0,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023 dan kemudian defisit 0,8% PDB pada 2024.
Suku Bunga Ditahan
Rupiah juga kehilangan pegangan kala Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 5,75% bulan ini. Investor kini memantau data inflasi yang dirilis Rabu pekan ini untuk mencari petunjuk mengenai arah kebijakan BI ke depan.
Pelaku pasar juga masih menunggu apakah kebijakan kewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan nasional mampu menopang penguatan rupiah. Jika rupiah mengendur, maka baht Thailand dan won Korea Selatan kemungkinan menjadi mata uang Asia terbaik pada akhir tahun ini karena terimbas sentimen positif reopening China, menurut Tan.
Akan tetapi, baht dan won harus mengikis start mereka yang lambat pada tahun ini. Won saat ini masih tertinggal di antara mata uang Asia lainnya, bahkan berada di dekat dasar ‘klasemen’,
(bbn)