Kekhawatiran global itu tentu saja menular ke dalam negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah ke level 6.834,98 pada penutupan sesi 1, Senin (27/2/2023).
Aksi jual di pasar obligasi juga telah melambungkan yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun ke 6,848% pada pukul 12:38 WIB, melampaui level pergerakan rata-rata sejak awal tahun yang berkisar di rentang 6.758%.
Di pasar spot, pairing USD/IDR diperdagangkan di Rp 15.278/US$ pada pukul 12:04 WIB, posisi terlemah rupiah sejak 12 Januari lalu.
Rupiah sempat memimpin penguatan tapi kini melemah tertekan sentimen eksternal. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), dalam rentang empat hari 20-23 Februari 2023, pemodal asing di pasar keuangan domestik mencatat nilai jual bersih (net sell) senilai Rp 640 miliar.
Perinciannya, nilai modal yang keluar dari pasar obligasi domestik mencapai Rp 860 miliar, sedangkan di pasar saham, investor asing masih mencatat net buy dengan aliran modal masuk senilai Rp 230 miliar.
Premi Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun yang menjadi salah satu acuan kepercayaan pemodal asing terhadap aset rupiah, juga tercatat terus melejit. Terakhir, CDS sudah ke posisi 97,645 pada pukul 11:41 WIB. Semakin tinggi angka CDS artinya risiko gagal bayar obligasi rupiah juga semakin besar.
Ketakutan Capital Outflow
Tekanan jual terhadap aset-aset rupiah diperkirakan akan berlanjut dan rupiah bisa terus melorot sampai spekulasi terkait bunga acuan The Fed mereda.
Dengan kondisi inflasi AS yang masih sulit dijinakkan, pelaku pasar dunia memperkirakan bunga acuan The Fed atau biasa disebut Federal Reserves Rate (FFR) akan tanpa ragu naik lagi. Proporsi ekonom yang memprediksi kenaikan bunga sebesar 50 bps naik jadi 25% dari sebelum pengumuman PCE yang sebesar 15%.
Jadi, bunga The Fed diprediksi akan naik ke level tertinggi 5,4%, lebih tinggi dibandingkan prediksi semula di mana terminal rate diperkirakan naik ke 5% tahun ini.
Sedangkan median dari konsensus ekonom Bloomberg memperkirakan, The Fed akan menaikkan bunga ke level 5% pada 22 Maret nanti.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini memperkirakan puncak suku bunga acuan The Fed ada di 5,25%.
Macro Strategist Lionel Priyadi dan Economist Arga Samudro dari Samuel Sekuritas memperkirakan puncak suku bunga (terminal rate) The Fed akan terhenti di 5,5% tahun ini menyusul perkembangan terbaru data inflasi dan pasar tenaga kerja yang masih ketat.
Dampak labih lanjut, bunga tinggi AS akan mendorong keluar modal asing dari pasar domestik menyusul semakin sempitnya selisih antara bunga di negeri paman sama dengan imbal hasil Indonesia.
“Kami menyarankan BI harus menyesuaikan bunga acuan dengan kenaikan paling tidak 25 bps,” tulis Lionel dan Arga dalam catatan yang diterima Bloomberg Technoz, Senin (27/2/2023).
Analis menggarisbawahi ancaman yang paling dikhawatirkan saat ini adalah terjadinya arus keluar modal (capital outflow) asing dalam nilai cukup besar dari pasar saham dan obligasi.
Bila BI tidak mengantisipasi ekspektasi tersebut, besar kemungkinan akan terjadi arus modal keluar seperti semester II-2022 lalu. “Yang agak sulit diterka adalah magnitudo [capital outflow],” kata Lionel.
Nilai tukar rupiah ia prediksi akan terus melemah menuju Rp 15.300 per dolar AS. “Supaya rupiah tetap stabil, menurut saya BI perlu menaikkan 100-125 basis poin ke level 6,75-7%,” ujarnya.
Sebaliknya, menurut Ekonom LPEM UI Teuku Riefky, menilai level BI7DRR di 5,75% sejauh ini masih cukup kredibel.
“Kondisi saat ini menunjukkan inflasi (domestik) masih relatif terkendali dan nilai tukar stabil. Jadi, saat ini belum diperlukan kenaikan bunga acuan,” jelasnya.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede juga berpandangan serupa. "Bunga acuan BI saat ini masih konsisten untuk menjangkar ekspektasi inflasi terutama inflasi inti agar tetap di bawah 4% hingga akhir tahun. Karena arah bunga acuan BI akan sangat dipengaruhi perkembangan inflasi inti serta stabilitas rupiah dan tidak dipengaruhi langsung oleh arah bunga The Fed," komentarnya, Senin sore.
Jadi, benarkah BI tidak perlu berbalik arah dan menaikkan bunga acuan lagi?
Mandat utama yang diemban oleh bank sentral adalah mengendalikan inflasi dan stabilitas nilai tukar. Pada Januari lalu, inflasi domestik tercatat di level 5,28%.
Inflasi Februari baru akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Maret nanti. Hasil konsensus analis Bloomberg menyebut, median estimasi inflasi Februari di kisaran 5,4%, makin tinggi dibandingkan bulan sebelumnya.
Pengumuman inflasi pekan ini akan menjadi yang paling menentukan apakah langkah BI menahan bunga acuan sudah tepat mengakhiri serial pengetatan moneter yang berlangsung sejak Agustus tahun lalu tersebut.
BI meyakini dengan level BI7DRR 5,75% akan memadai untuk memastikan inflasi inti tetap berada di kisaran 3,0±1% pada semester I 2023 dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada semester II 2023.
Adapun untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, BI percaya diri akan diperkuat oleh kebijakan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE) melalui implementasi operasi moneter valas DHE yang akan dimulai 1 Maret nanti.
Sejatinya, kinerja rupiah di Asia cukup mengesankan di awal tahun ini dengan penguatan hingga 2% melawan dolar AS, dan performanya terbaik di Asia berdasarkan catatan Bloomberg.
Namun, momentum penguatan itu sudah banyak tercederai menyusul tekanan eksternal yang menguat dan memicu modal asing keluar dari pasar domestik. Ditambah lagi kebijakan percaya diri BI menahan bunga acuan dalam rapat dewan gubernur terakhir beberapa pekan lalu.
(rui/aji)