Masalahnya, selama ini properti hanya dipandang sebagai indikator untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini, propertinomics terdiri dari 4 pilar. Pertama, kehadiran institusional yang bertanggung jawab, seperti Kementerian PUPR dan perbankan. Kedua, penganggaran, di mana REI mendorong adanya alokasi anggaran untuk perumahan yang lebih besar dari APBN.
“Saat ini baru 0,4% dari APBN. Kita harus dorong minimal harus bisa mendekati 2%—2,5%. Kenapa gitu? karena subsidi di properti, uangnya akan balik. Subsidi jadi barang dan ada output ekonomi karena properti [berhubungan dengan] 185 industri,” ujar Joko.
“Jadi ketika properti didorong dengan target besar, maka yang bergerak dahulu adalah pendukung ekonominya berapa dari 185 industri tadi. Bayangkan ketika 185 industri bergerak semuanya, pertumbuhan ekonomi tinggi, penyerapan tenaga kerja tinggi, jadi daya beli akan naik,” lanjut Joko.
Ketiga, kebijakan yang terintegrasi sehingga mendorong pertumbuhan kontribusi properti kepada produk domestik bruto (PDB). Saat ini kontribusi sektor perumahan ke PDB berkisar 14%, padahal negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina sudah di atas 20%.
Keempat, properti harus menjadi proyek strategis nasional (PSN). Dengan demikian, sektor properti bisa didorong untuk tumbuh dan menciptakan multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi.
“Sekarang aja kontribusi 14% [ke PDB], ke APBN 9%, ke pendapatan asli daerah [PAD] 35%—60%, serapan tenaga kerja 14—16 juta. Ini sangat besar,” ujarnya.
Namun, Joko menegaskan, REI berkomitmen untuk mendukung kebijakan insentif PPN DTP. Joko juga mengakui manfaat dari insentif tersebut untuk mendongkrak penjualan dan menggerakkan sektor riil.
“[Pertumbuhan penjualan properti] per September 11% [yoy], bisa naik jadi 11,5% [yoy, sampai akhir tahun karena kebijakan ini] sudah bagus. Kalau 0,5%, pertumbuhannya 6% karena 0,5% kali 12 bulan, average jadi 11,5%,” tutupnya.
Sekadar catatan, pemerintah resmi menerbitkan aturan insentif PPN DTP untuk pembelian rumah maksimal seharga Rp5 miliar.
Aturan ini termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan 120 tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023, yang diteken dan diundangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 21 November.
Dalam hal ini, PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun yang memenuhi persyaratan, ditanggung oleh Pemerintah untuk Tahun Anggaran 2023.
“Rumah tapak atau satuan rumah susun sebagaimana dimaksud harus memenuhi persyaratan: harga jual paling banyak Rp5 miliar dan merupakan rumah tapak baru atau satuan rumah susun baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni,” sebagaimana dikutip Pasal 4 aturan tersebut, Jumat (24/11/2023).
(dov/wdh)