Selain itu, EY juga menggarisbawahi faktor-faktor tersebut menghambat proses pendanaan yang tersedia, tergantung pada tingkat risikonya.
Untuk Indonesia, hambatan yang diidentifikasi yakni Pertumbuhan sektor tenaga surya dan angin sebagian besar masih bergantung pada penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara (CFPP); kurangnya kejelasan peraturan pengadaan dan prosedur tender; dan tarif negosiasi yang rendah memengaruhi bankability.
EY pun merekomendasikan beberapa hal untuk mengatasi hambatan tersebut, yakni meminta sinyal kebijakan yang kuat penghentian penggunaan batu bara secara tepat waktu untuk menarik minat pasar, mendirikan badan khusus untuk memperlancar proses pengadaan tanah, dan mengembangan model PPA untuk mengurangi jadwal negosiasi.
"Untuk mendorong pertumbuhan energi terbarukan, Indonesia perlu memprioritaskan pengembangan jaringan listrik yang permintaannya belum terpenuhi, apalagi ketika energi terbarukan lebih menguntungkan secara ekonomi ketimbang menggunakan diesel atau bahan bakar fosil lainnya," tutur Pascal.
Berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA), Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang punya potensi peningkatan kapasitas tenaga surya dan angin hingga tiga kali lipat pada 2030.
(ibn/wdh)