Bloomberg Technoz, Jakarta — Indonesia terus gagal mencapai target program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), atau replanting, di tengah tren harga minyak kelapa sawit yang masih bertenaga. Program tersebut sejatinya sudah harus tuntas sejak enam tahun silam.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan program PSR sebenarnya memiliki manfaat yang tidak kecil, mengingat sektor perkebunan sawit rakyat menyerap sekira 15,2 juta tenaga kerja.
“Dari luas lahan 188 juta hektare [di Indonesia], sebanyak 16,3 juta hektare di antaranya ditanami kelapa sawit. Ini menunjukkan kepentingan kelapa sawit di Indonesia sedemikian besarnya karena mencakup 50% aset pertanian nasional,” ujarnya dalam acara Rapat Koordinasi Kelapa Sawit Nasional : Menjaga Resiliensi Perkebunan Indonesia 2023, Senin (27/02/2023).
Dalam kaitan itu, dia menyebut Indonesia memiliki sekitar 2,4 juta hektare lahan perkebunan kelapa sawit rakyat yang sudah waktunya diremajakan.
Harapannya, mulai dari sekarang sampai dengan Desember [2023], [peremajaan lahan kelapa sawit seluas] 180.000 hektare ini bisa betul-betul terwujud.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud
Semestinya, tegas Musdalifah, sejak 2017 Indonesia sudah harus meremajakan 180.000 hektare lahan perkebunan kelapa sawit rakyat. Namun, sampai dengan akhir 2022, target tersebut gagal tereksekusi.
“Harapannya, mulai dari sekarang sampai dengan Desember [2023, peremajaan lahan kelapa sawit seluas] 180.000 hektare ini bisa betul-betul terwujud,” tuturnya.
Dia mengelaborasi berbagai kendala yang menyebabkan Indonesia sulit menuntaskan pekerjaan rumah untuk meremajakan lahan dan mengembangkan perkebunan sawit rakyat.
Pertama, produktivitas lahan yang rendah atau hanya mencapai 3,6 ton/ha/tahun, padahal potensi yang dapat dimaksimalkan mencapai 6—8 ton/ha/tahun.
Kedua, kampanye hitam dari berbagai negara terkait dengan isu deforestasi dan kerusakan lingkungan.
Ketiga, lahan terindikasi kawasan hutan. Pemerintah mendeteksi adanya 3 juta lahan perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan.
Keempat, isu legalitas dan perizinan. “Masih terdapat kebun sawit yang belum memiliki legalitas seperti HGU [hak guna usaha], SHM [surat hak milik], dan STDB [surat tanda daftar budidaya],” kata Musdalifah.

Kelima, gangguan usaha dan konflik seperti harmonisasi antara perkebunan besar swasta (PBS) dan perkebunan besar negara (PBN) dengan perkebunan sawit rakyat yang berujung pada turunnya produktivitas lahan.
Keenam, hambatan akses pasar di beberapa negara tujuan ekspor produk turunan kelapa sawit. Misalnya, berupa tarif bea masuk yang tinggi, kebijakan antidumping, dan hambatan nontarif seperti syarat keamanan pangan.
Ketujuh, isu penghiliran berupa pengembangan industri olahan minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang belum optimal.
Kedelapan, isu energi, di mana potensi sumber daya sawit belum digarap maksimal untuk sektor energi.
Anomali Tahunan
Dalam kesempatan terpisah sebelumnya, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono menjelaskan industri sawit nasional dihujani oleh anomali-anomali di luar ekspektasi sepanjang 2022.
Anomali tersebut a.l. cuaca yang ekstrem basah, lonjakan kasus Covid-19 pada Februari, dimulainya perang Ukraina-Rusia pada Februari, harga minyak nabati termasuk CPO yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah 28 April—23 Mei, harga pupuk yang tinggi, dan sangat rendahnya pencapaian program PSR.
“Kejadian tidak biasa tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor,” ujar Mukti melalui laporan resmi Gapki.

Menurutnya, program PSR yang tidak mencapai target juga dibarengi dengan pertambahan luas areal yang secara total hanya mencapai 600.000 hektare dalam 5 tahun terakhir, akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit.
Hal tersebut memicu hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru.
"Harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi lebih banyak," tuturnya.
Situasi ini berkontribusi terhadap pencapaian produksi CPO tahunan Indonesia yang hanya mencapai 46,72 juta ton pada 2022, lebih rendah dari produksi tahun sebelumnya sebanyak 46,88 juta ton.
Capaian tersebut juga memarkahi tahun ke-4 berturut-turut di mana produksi cenderung terus turun/stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia.
(wdh)