Bloomberg Technoz, Jakarta - Penetapan tersangka terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menambah catatan baru, kontroversi hingga kasus hukum yang menjerat pimpinan lembaga antirasuah. Parahnya, Firli terjerat dugaan pemerasan yang mana pimpinan KPK sendiri pernah menyebut, pemerasan adalah level paling tinggi dalam tindakan tindak pidana terkait suap gratifikasi.
"Berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya sebagai terkait penanganan permasalahan hukum di Kementerian Pertanian RI kurun waktu 2020-2023," kata Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol. Ade Safri Simanjuntak di Jakarta, Rabu malam (22/11/2023).
Firli bahkan dijerat Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selama 20 tahun lebih berdiri, KPK nyatanya memang tak luput dari beberapa kontroversi. Pada beberapa tahun silam juga terjadi gesekan antara KPK dan Polri yang dikenal dengan peristiwa kasus Cicak vs Buaya.
Kasus cicak vs buaya bermula pada Juli 2009 pada saat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menjabat Presiden. Dimana KPK dituduh melakukan penyadapan terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji terkait isu pencairan uang dari nasabah sebesar Rp10 miliar dalam kasus Bank Century.
KPK membela diri dengan menyatakan bahwa sistem penyadapan yang mereka gunakan adalah lawful interception atau penyadapan berdasarkan dan untuk penegakan hukum. Susno sendirilah yang membuat analogi cicak (KPK) vs Buaya (Polri), sebab KPK diibaratkan cicak yang kecil sedangkan Polri adalah buaya karena besar.
Dimulailah serangkaian kasus Cicak vs Buaya ini. Polri kemudian menjerat pimpinan KPK dengan persoalan hukum. Pertama ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah yang kemudian memunculkan reaksi dari aktivis korupsi.
Tak berhenti di situ, pada Oktober 2012 KPK kembali menyelidiki dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Namun tak berselang lama penyidik KPK Novel Baswedan dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau.
Nuansa kasus Cicak vs Buaya ini bahkan terasa merembet pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yakni pada Januari 2015. KPK mentepkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus pemilukada. Hal ini akhirnya menggagalkan Budi Gunawan alias BG menjadi Kapolri. Sebelas hari berselang Polri menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menjadi tersangka.
Bahkan pimpinan KPK pada saat itu, Abraham Samad juga turut terseret menjadi tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen. Dia sempat ditetapkan polisi jadi tersangka. Namun penetapan tersangka keduanya akhirnya mendapatkan deponeering 'pemberhentian perkara' dari Jaksa Agung HM Prasetyo pada saat itu.
Sementara kasus yang menjerat pimpinan KPK yang tidak langsung berhadap-hadapan dengan polisi juga tak sedikit.
Ketua KPK Antasari Azhar juga pernah tersandung kasus pembunuhan. Dia divonis 18 tahun penjara pada 2009 atas kasus pembunuhan bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain. Antasari selalu membantah melakukan pembunuhan.
Selain itu ada kasus Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang penuh dengan kontroversi hingga kemudian Lili akhirnya memilih mundur pada 2022 silam. Lili menjadi satu-satunya perempuan yang lolos menjadi pimpinan KPK 2019-2023. Namun kasus-kasus terkait dirinya muncul satu per satu termasuk bertemu pihak berperkara hingga dugaan menerima barang gratifikasi termasuk fasilitas hotel dan tiket menonton balap MotoGP 2022 di Sirkuit Mandalika, NTB.

Pada tahun lalu, kasus Lili juga disidangkan Dewas KPK. Anggota Dewas Albertina Ho mengatakan, Lili diduga menerima dari pihak berpekara termasuk dari PT Pertamina. Lili juga menyalahgunakan jabatan dengan menerima segala fasilitas sehingga tersandung pelanggaran etik. Namun Lili kemudian akhirnya memilih mundur.
(prc/ezr)