Perubahan sudut pandang investor ini berkaca dari tingkat likuiditas yang semakin ketat. Berbeda dengan periode sebelumnya, saat tren suku bunga rendah menyebabkan likuiditas mencari medium-medium berinvestasi.
“Tidak ada batas, likuiditas itu bisa dibagi, diinvestasikan kemana pun di seluruh dunia, terutama teknologi dan Fintech, sehingga tantangannya bagaimana secepat-cepatnya menghabiskan likuiditas,” tegas dia, dan kini berlaku sebaliknya.
Hal yang menunjukkan pola investasi telah semakin realistis, sejalan dengan laporan terbaru AC Ventures dan Bain & Co. Investor yang berasal dari pemodal ventura kini cenderung hanya mendukung startup dengan unit ekonomi kuat. Investor juga berfokus untuk mendapatkan keuntungan.
Selain itu Mahendra meminta peningkatan perlindungan konsumen pada pelaku industri Financial Technology Peer-to-Peer Lending (Fintech P2P Lending). Hal ini penting untuk meningkatkan kepercayaan dari publik akan industri ini.
“Isu-isu baru yang harus menjadi perhatian kita adalah terkait dengan perlindungan konsumen, perlindungan masyarakat, kepercayaan masyarakat, trust, yang tidak boleh tergerus terus, dan tech is not sufficient. Harus dengan Good Corporate Governance(GCG), Governance, Risk, and Compliance (GRC). Tidak cukup Tech semata,” pungkas Mahendra.
Untuk diketahui OJK juga telah mengeluarkan surat edaran (SE) yang mengatur tata kelola baru industri Fintech P2P Lending yang bertujuan membela kepentingan konsumen, yang selama ini terjerat bunga pinjaman online (pinjol).
Bunga pinjol adalah variabel biaya yang muncul saat individu atau badan usaha melakukan proses pinjam meminjam lewat Fintech P2P Lending. Selama ini biaya pinjol tidak diatur OJK, namun menjadi kesepakatan pelaku industri lewat Asosiasi Fintech Indonesia (AFPI) dengan nilai maksimal 0,4%/hari. Kini OJK turut tangan, dengan menurunkan beban biaya pinjol bisa jadi 0,1%/hari, yang terbagi jadi pinjaman produktif dan konsumtif.
“Kenapa harus diatur, intinya untuk perlindungan konsumen. Kalau bunga tidak ditata dengan baik, tidak ada tata kelola, maka yang paling dirugikan itu konsumen. Ada orang yang dizalimi tingkat bunganya dan seterusnya,” jelas Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas PMVL pada 10 Oktober silam.
(mfd/wep)