Mereka tergiur janji bonus investasi hingga 10% per bulan, sembako, dan daging. Padahal dalam penawaran, koperasi mengatakan akan memutar dana pada sebuah bisnis pengelolaan minyak kelapa sawit di Tulungagung, Jawa Timur.
Penipuan menyasar kelompok sederhana juga masih berlangsung. Bahkan, para pelaku berhasil membujuk para korban mengirimkan dana pada produk keuangan modern. Para korban sangat mungkin tak paham, bahkan hanya mengenal sejumlah istilah dari pembicaraan di media massa atau media sosial.
Salah satunya kasus investasi bodong berkedok aset koin kripto, Lucky Base Coin di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terbongkar pada 2021. SWI menemukan ada puluhan petani yang menjadi anggota investasi yang menjanjikan keutungan 300% dalam satu tahun. Dengan model menyerupai multilevel marketing atau anggota merekrut anggota baru, penyebaran iming-iming ini berhasil menjerat banyak warga lokal.
Demikian pula dengan kasus investasi bodong bernama Kampung Kurma di Jawa Barat. Mereka menawarkan satu kavling tanah berukuran 400-500 meter persegi yang akan ditanami lima pohon kurma. Nilai investasi per kavling dibandrol sekitar Rp 45 juta. Pelaku mengiming-iming usai 4 tahun pohon kurma akan berbuah dan menghasilkan keuntungan lebih dari Rp 100 juta per tahun.
“Mereka tidak memikirkan apakah pohon kurma ini tumbuh di Indonesia? Apakah nanti juga pohon itu tidak ditebang atau dicuri orang? Jadi mereka tidak melakukan pengecekan dan rasionalitasnya,” kata Tongam.
Seiring waktu, kata Tongam, SWI mulai mendeteksi keberadaan kelompok kedua yaitu masyarakat dengan kemampuan finansial, pendidikan akses informasi tinggi ikut jadi korban. Terutama, menurut dia, sejalan dengan perkembangan teknologi digital dan teknologi finasial modern.
Salah satu contoh, kata dia, laporan penipuan investasi bodong kepada ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor, akhir 2022. Menurut Tongam, mahasiswa seharusnya daya kritis yang tinggi saat menerima tawaran investasi.
Dalam kasus tersebut, ratusan mahasiswa dengan polos percaya melakukan pinjaman online untuk diberikan pada pelaku penipuan. Mereka tergiur janji bagi keuntungan kalau berinvestasi pada toko online milik pelaku di lokapasar. Berdasarkan data SWI, terdapat 121 mahasiswa IPB yang mengajukan 197 pinjaman dengan total Rp 650,19 juta.
Sebelumnya, sejumlah nama tokoh dan artis juga wara-wiri kantor kepolisian dalam kasus investasi bodong berkedok aplikasi digital advertising, Memiles pada 2019-2020. Mereka menjadi saksi dan korban dari total sekitar 264 ribu anggota yang tergiur bonus motor dan mobil jika banyak merekrut anggota baru. Beberapa nama yang sempat muncul dalam pemeriksaan di kepolisian mulai dari penyanyi, influenser, perancang busana, hingga cucu mantan presiden.
Belakangan, sejumlah artis dan tokoh juga bersuara karena dirinya atau kerabatnya menjadi korban investasi bodong. Salah satunya kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya yang diduga menggelapkan dana hingga lebih dari Rp 100 triliun dan 23 ribu anggotanya. Mereka bahkan menanam dana yang sangat besar mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) pun menemukan data dan informasi serupa saat menelusuri aliran dana mencurigakan sejumlah kasus investasi bodong. Juru bicara PPATK, M Natsir Kongah mengatakan, beberapa korban justru berasal dari kelompok masyarakat dengan kemampuan finansial sangat tinggi.
Padahal, menurut dia, hampir semua orang dengan profil keuangan sangat besar pasti memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan akses informasi sangat tinggi. Mereka juga biasanya memiliki daya kritis dalam penggunaan uang. Meski tak detil, dia menyebut ada beberapa nama pejabat daerah, mantan penegak hukum, pengusaha, hingga artis.
“Sebenarnya mereka bisa lebih rasional melihat sebuah tawaran. Mereka bisa menimbang apakah logis untung besar dalam waktu singkat. Saya melihat ini karena ada serakah. Greedy,” ujar dia.
Penipuan yang menyasar kelompok berduit ini juga menggunakan modus serupa produk perdagangan berjangka komoditi (PBK). Mereka juga menggunakan para artis dan influenser untuk meningkatkan popularitas pribadi atau produknya.
Seperti kasus investasi bodong berbentuk binary option pada aplikasi Quotex yang menyeret afiliator Doni Muhammad Taufik atau Doni Salmanan. Beberapa artis yang sempat masuk pemeriksaan di kepolisian.
Skema Money Game Ponzi
Sebagian besar kasus investasi bodong memang memerlukan penyebaran informasi tentang produknya. Karena mereka kerap menggunakan skema money game atau ponzi. Skema ini mengambil nama dari pencetus modus tersebut yaitu Carlo Pietro Giovanni Guglielmo Tebaldo Ponzi atau Charles Ponzi di Lugo, Italia.
Bisnis Ponzi hanya tipuan. Secara sederhana, Ponzi membayar janji keuntungan bagi member awal dengan uang setoran dari member baru. Tren penipuan dengan metode Ponzi tak hanya marak di Indonesia. Amerika Serikat, yang warganya punya tingkat literasi lebih tinggi, pun berulang kali bobol dengan penipuan ini.
Salah satunya, kasus Bernie Madoff yang mampu menipu ribuan orang dengan latar strata sosial, profesi, dan pendidikan beragam, pada 2008. Nilai kerugian dalam kasus ini mencapai US$ 64,8 miliar.
Testimoni dan Pamer Harta
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bima Yudhistira mengatakan, salah satu yang turut melancarkan penipuan skema ponzi di era modern adalah testimoni public figure. Nama-nama tersohor, menurut dia, kerap menjadi sasaran untuk memberikan validasi sebuah produk investasi abal-abal menjadi aman dan terpercaya.
“Studi yang kami lakukan menunjukkan, influencer itu punya peran nomer satu dalam menentukan investasi,” ujar Bima.
Bima menyoroti peran influencer dalam kasus-kasus investasi bodong yang menyeret banyak korban, tapi justru tidak terkena konsekuensi hukum. Padahal, kata dia, para pemengaruh ini turut berperan menawarkan skema investasi bodong atau berperan sebagai endorser.
“Influencer di Indonesia ini tidak terkendali, cukup liar dan bebas,” kata dia.
Senada, Tongam pun menilai, para pesohor harus lebih berhati-hati untuk menawarkan sebuah produk penanaman modal kepada para pengikutnya. Mereka pun harus memiliki literasi keuangan yang baik sehingga tak turut melanggengkan penipuan dan penghimpunan dana ilegal.
“Literasi juga perlu bagi orang-orang dengan banyak pengikut. Agar tak turut ikut mempopulerkan produk investasi bodong,” kata dia.
Selain pesohor, menurut Tongam, sejumlah korban masuk dalam jerat investasi bodong karena mendapat testimoni atau melihat keberhasilan orang terdekat. Skema ponzi memang mudah menyebar pada orang-orang yang memiliki ikatan relasi pengenalan atau kepercayaan; seperti keluarga, tetangga, rekan kerja, dan relasi lainnya.
Promosi produk investasi palsu juga gemar mendompleng hubungan atau relasi keagamaan. Banyak kelompok masyarakat lebih percaya pada sebuah produk atau kegiataan investasi jika disebarkan tokoh-tokoh agama. Contohnya, Koperasi Langit Biru yang disebarkan pelaku dalam kedok dakwah sehingga punya banyak anggota.
Meski tak detil, pejabat pelaksana tugas Kepala Badan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan, Didid Noordiatmoko juga mengatakan, pernah mendapat laporan dari kelompok korban yang memiliki kesamaan komunitas keagamaan. Mereka berkisah, percaya menaruh banyak uang tabungannya karena produk tersebut ditawarkan pemimpin agama.
Belakangan, kata dia, produk keuangan serupa MLM tersebut ternyata palsu. Seluruh uang mereka pun hangus. “Ketika jemaatnya protes, mereka (pemimpin agama) juga bilang kalau saya juga kena tipu,” ujar Didid.
Direktur Riset CORE Piter Abdullah pun menilai, literasi yang rendah bukan faktor terbesar maraknya penipuan berkedok investasi. Hal ini terbukti dengan banyaknya korban dari kalangan berduit dan berpendidikan tinggi.
Menurut dia, investasi bodong masih akan terus bermunculan dengan berbagai macam bentuk dan modus baru karena ada celah pada diri manusia. Kombinasi ketamakan, keterbatasan literasi finansial, dan kemalasan belajar menjadi sasaran empuk pelaku penipuan investasi.
“Mereka (pelaku tipuan investasi bodong) memanfaatkan karakter manusia yang tamak. Ingin kaya tapi tidak mau susah, ingin untung besar tapi tidak mau repot,” kata Piter.
(frg)