Pelemahan rupiah yang terjadi sejak kemarin mengejutkan pasar, menurut analis. Kendati pelemahan itu berlangsung di tengah mayoritas mata uang Asia yang juga melemah.
Bank Indonesia (BI) menyebut, pelemahan yang terjadi hanya sementara akibat lonjakan kenaikan permintaan yang tiba-tiba dari sektor korporasi dan perbankan yang cukup besar. Akibat pelemahan itu indeks ICBI dan IDMA turun 0,1% ditambah koreksi IHSG 0,8%.
"Sentimen pelemahan rupiah hari ini hanya sementara dan permintaan serta pasokan valas di pasar masih sangat memadai," kata Edy Susianto, Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter BI seperti dilansir oleh Bloomberg News.
Permintaan valas dari korporasi dan perbankan mencatat lonjakan di pasar spot terdampak penepatan harga yang berlebihan di pasar forward/NDF, menurut bank sentral.
Senada, menurut ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, pelemahan rupiah bukan karena adanya arus keluar modal asing yang perlu diwaspadai. Rupiah yang melemah kemarin lebih karena yang terjadi di pasar NDF.
"Berakhirnya kontrak forward bisa memicu tekanan di pasar valas spot. Sebagai contoh, tiga bulan lalu seorang importir membeli kontrak forward untuk mengelola kebutuhan dolar mereka di masa depan. Ketika kontrak tersebut berakhir dan tidak diperpanjang, importir mungkin akan mencari dolar AS di pasar spot sehingga melemahkan rupiah," jelas Satria.
Ia menilai, pelemahan rupiah yang cukup dalam kemarin dan berlanjut hari ini sejatinya belum menjadi alasan yang cukup kuat bagi BI untuk mengerek bunga acuan lagi.
Ketika BI menaikkan bunga acuan secara mengejutkan bulan lalu, situasinya jauh berbeda dengan saat ini. Oktober lalu ketika BI menggelar RDG, tingkat imbal hasil Treasury, surat utang AS, tengah mendaki ke kisaran 5%. Kemudian, indeks dolar AS juga meroket ke 107 ditambah harga minyak Brent melonjak tinggi di US$92 per barel.
Hal berbeda dihadapi saat ini di mana yield Treasury 10 tahun sudah melandai lagi ke 4,4%, lalu indeks dolar AS juga melemah ke 103 ditambah harga minyak Brent yang semakin turun ke US$78 per barel. Bukan cuma itu, narasi di pasar saat ini juga jauh lebih lega terkait arah bunga acuan The Fed. Data ekonomi AS menebalkan optimisme bahwa siklus kenaikan bunga acuan The Fed mungkin sudah selesai.
"Hal ini berarti kenaikan suku bunga tidak akan menjadi solusi jangka pendek yang efektif terhadap pelemahan nilai tukar rupiah baru-baru ini yang kami lihat hanya terjadi sekali saja dan dipicu oleh ketidakcocokan pasokan dan permintaan valuta asing yang bersifat sementara," jelas Satria dan Drewya Cinantyan, analis dan ekonom Bahana Sekuritas dalam catatannya pagi ini.
(rui/aji)