Selain itu, ketiga, rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah BI mengambil keputusan untuk menaikkan suku bunga pada pertemuan Oktober 2023. Di sisi lain, bank sentral AS Federal Reserve memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunganya.
"Terakhir, The Fed kemungkinan akan mempertahankan tingkat suku bunga kebijakannya saat pertemuan Dewan Gubernur The Fed pada Desember 2023, meskipun tekanan terhadap Rupiah akibat ketidakpastian pasar global masih ada," ujar Riefky dalam riset yang dirilis Rabu (22/11/2023).
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede juga memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan tidak berubah di level 6%, setelah kenaikan mengejutkan bulan lalu.
“Kami memperkirakan BI akan mempertahankan BI-7DRRR sebesar 6% pada pertemuan November 2023,” kata Josua.
Laju inflasi tetap terkendali dan berada pada kisaran sasaran 2-4%, dan surplus perdagangan tetap mendukung stabilitas sektor eksternal.
Selain itu, neraca perdagangan pada Oktober 2023 masih mencatat surplus. Ini mengindikasikan bahwa risiko neraca berjalan menjadi defisit pada tahun ini tidak akan mengancam atau memberikan risiko besar terhadap stabilitas rupiah.
Perkembangan terkini dari sisi eksternal, khususnya perekonomian AS mengindikasikan inflasi akan terus menurun dan pasar tenaga kerja terus longgar.
Menurut Josua, hal ini menyebabkan pasar keuangan global cenderung stabil dan meningkatkan sentimen penarikan dana atau risk on di kalangan investor. Pasalnya, The Fed kini dinilai kurang hawkish oleh pasar, sehingga memicu arus masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Oleh karena itu, kami melihat rupiah berpotensi menguat terhadap dolar AS pada bulan ini, ditutup pada Rp15.445 per US$ pada Senin kemarin, yang akan mengurangi risiko inflasi impor,” papar Josua.
Imbal hasil acuan atau yield surat berharga negara (SBN) juga menunjukkan tren menurun. Namun, Josua memperkirakan masih ada ketidakpastian, karena The Fed belum memberikan sinyal mengenai ruang penurunan suku bunga, sehingga pilihan terbaik bagi BI adalah mempertahankan BI-7DRRR.
Potensi Suku Bunga Naik Tahun Depan
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan penguatan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) seharusnya memberi ruang bagi bank sentral untuk bernapas sementara dan menahan level suku bunga acuan 6% November ini. Namun, dia menilai BI perlu menaikkan suku bunga dalam beberapa bulan ke depan.
Menurut dia, fungsi reaktif BI menunjukkan sebagian besar kenaikan suku bunga dilakukan ketika rupiah sudah terlanjur melemah sekitar 1%-2% dalam perhitungan bulanan terhadap dolar AS, termasuk sebelum terjadi kejutan kenaikan bulan lalu.
"Meskipun penetapan suku bunga mencerminkan pandangan ke depan, kebijakan dengan kesenjangan moneter yang panjang, BI rate biasanya digunakan sebagai senjata reaktif yang dapat digunakan untuk merespons, bukan mencegah, ketika nilai tukar rupiah sudah melemah atau inflasi sudah melampaui target," papar Satria dalam hasil risetnya.
Namun, Satria tidak memperkirakan jeda yang dilakukan BI menandai berakhirnya pengetatan tersebut siklus ini. "Terutama karena nilai tukar rupiah mungkin masih berada di bawah tekanan akibat krisis tersebut basis suku bunga yang relatif rendah dan defisit neraca pembayaran," ujar Satria.
Dia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali sebesar 25 basis poin (bps) dengan level puncak 6,5% hingga semester I 2024.
"Mengingat sifat BI yang reaktif, kami memperkirakan akan terjadi kenaikan suku bunga kenaikan hanya akan terjadi ketika rupiah melemah ke level Rp15.800-Rp16.000 per dolar AS, dengan yang lainnya dilakukan ketika mata uang menembus level Rp16.200-Rp16.400," ungkap Satria.
Dengan kata lain, investor harus bersiap menghadapi pengetatan dari BI jika rupiah melemah sebesar lebih dari 2% secara bulanan. Hal ini diperkirakan berlangsung ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun melampaui level psikologis 5% dan 5,5%, atau ketika indeks dolar mencapai puncak 108-110, dari level saat ini masing-masing 4,46% dan 103,5.
"Imbal hasil AS mungkin akan melanjutkan kenaikan karena ketidaksesuaian antara penawaran dan permintaan," ujar Satria.
Secara keseluruhan, neraca pembayaran mencatat defisit sebesar US$ 1,5 miliar, yang merupakan defisit transaksi berjalan dan keuangan yang kedua kali terjadi pada tahun ini.
"Kami mengantisipasi defisit transaksi berjalan sebesar -0,2% dari PDB pada tahun 2023 dan -0,4% dari PDB pada tahun 2024," ujar Satria.
Dia mengkhawatirkan defisit neraca pembayaran Indonesia yang terus-menerus dapat berlanjut pada 2024, dan berpengaruh terhadap pasokan valuta asing.
"Terkait permintaan dalam negeri, berarti BI harus tetap membuka opsi kenaikan suku bunga lebih lanjut, menurut pandangan kami," kata Satria.
(lav)