Logo Bloomberg Technoz

Direktur PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Taufik Adityawarman mengatakan saat ini kapasitas produksi petrokimia di kilang-kilang perseroan telah mencapai 1.900 metrik ton per anum (mtpa).

Dengan adanya rencana peningkatan terhadap kilang-kilang itu, maka produksi petrokimia Pertamina diproyeksi meningkat empat kali lipat menjadi 7.500 mtpa.

Saat ini Pertamina juga sedang menggarap proyek rendah emisi yakni Polipropilena Balongan yang dirancang untuk kapasitas produksi 300.000 ton per tahun, pembenahan Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), dan GRR Tuban.

"Kemudian, proyek diversifikasi green refinery yang saat ini berada di Green Refinery Cilacap untuk produk Hydrotreated Vegetable Oil [HVO] 3.000 barel per hari dan Sustainable Aviation Fuel [SAF] 2,4% dengan jumlah kapasitas 9.000 barel per hari."

Untuk produksi gas, Taufik mengatakan perseroan pun sudah memulai bisnis rendah karbon, yakni dengan menjajaki pengembangan amonia biru melalui penandatanganan MoU dengan BP di Bintuni.

Proyek itu diharapkan dapat menghasilkan 800.000 ton amonia biru per tahun. Proyek lainnya adalah pengembangan bioetanol di Bojonegoro.

Saat ini, kegiatan usaha pengolahan Pertamina hanya didukung oleh enam kilang di dalam negeri, yaitu; Refinery Unit (RU) II Dumai, RU III Plaju, RU IV Cilacap, RU V Balikpapan, RU VI Balongan, dan RU VII Kasim.

Total kapasitas pengolahan terpasang keenam kilang itu mencapai 1,03 juta bph, atau sekitar 90% dari kapasitas pengolahan yang ada di Indonesia.

Perbandingan konsumsi bensin dan solar di Indonesia selama Januari 2019 hingga Juni 2023./Sumber: BMI-Fitch Solutions


Terkait dengan prospek BBM, konsumsi bahan bakar fosil di Indonesia sebelumnya diproyeksi makin anjlok dalam beberapa tahun ke depan. Hal itu sejalan dengan kian masifnya mandatori biofuel lintas sektor serta komitmen pemerintah untuk memangkas subsidi energi, alih-alih akibat tren adopsi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).

Menurut riset Fitch yang dilansir pada medio kuartal III-2023, konsumsi seluruh jenis bahan bakar olahan di Indonesia diestimasikan hanya tumbuh 1,3% pada tahun ini dan 1,2% pada 2024; ditopang oleh permintaan yang masih solid untuk avtur dan LPG.

Namun, para periset BMI –lembaga riset Fitch Solutions, bagian dari Fitch Ratings– memperkirakan pertumbuhan permintaan bahan bakar di Indonesia akan terus turun dalam jangka panjang, berbanding lurus dengan upaya pemerintah mendiversifikasi penggunaan energi fosil.

“Permintaan bahan bakar yang lebih rendah di Indonesia diperkirakan dipicu oleh lemahnya kebutuhan terhadap bensin dan solar di sektor transportasi,” papar para periset Fitch.

Hanya bahan bakar jenis LPG yang bisa menjadi pendorong utama pertumbuhan permintaan ke depan, didukung oleh kenaikan jumlah rumah tangga yang beralih ke LPG di perdesaan.

“Permintaan LPG masih akan terus naik karena kurangnya pasokan dan infrastruktur distribusi,” papar Fitch.

Di sisi lain, konsumsi BBMjenis bensin dan solar diproyeksi hanya tumbuh 1,4% per tahun selama 2023—2032, dengan volume tetap di bawah angka 2,1 juta barel per hari pada 2032.

Hal itu, menurut Fitch, dipicu oleh determinasi pemerintah memangkas subsidi BBM sejak 2022. Sekadar catatan, pada September 2022, pemerintah untuk pertama kalinya menaikkan harga Solar dan Pertalite dalam 8 tahun.

Berdasarkan analisis angka kebutuhan bensin dan solar pada 2023, pemotongan subsidi membantu memperlambat permintaan tahunan terhadap BBM sektor transportasi.

Perbandingan konsumsi bensin pada lima bulan pertama 2023 menunjukkan sedikit atau bahkan tidak ada pertumbuhan secara year on year (yoy). 

(ibn/wdh)

No more pages