Ketiga, mengenai kesejahteraan dalam hal ini kata dia pendidikan dokter menjadi sangat dikapitalisasi.
"Belum lagi kita bicara tentang kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan di masa depan. Ketika negara atau pemerintah dengan sangat mudahnya membuka pintu bagi dokter dan tenaga kesehatan asing. Artinya yang akan berlaku ke depan benar-benar mekanisme pasar bagi putra-putri bangsa kita yang sudah berjuang untuk menempuh pendidikan, lulus," kata dia lagi.
Dia menilai apabila pemerintah berdalih bahwa Omnibus Law RUU Kesehatan ini untuk kepentingan rakyat maka harus dikupas satu per satu yang dimaksud dengan kepentingan rakyat dalam pasal-pasalnya. IDI kata dia juga melakukan kajian pula berkonsultasi pula dengan berbagai organisasi seperti Muhammadiyah juga Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Dari sana mereka melihat bahwa omnibus law ini memang masih memiliki banyak masalah.
"Pertanyaan besarnya kenapa RUU ini terkesannya diburu-buru oleh DPR. Informasinya juga pemerintah ingin ini segera disahkan, tetapi mekanisme dan substansinya masih banyak yang harus dipertanyakan," lanjut Mahesa.
Lebih lanjut jubir IDI juga menyinggung soal sentralistik kekuasaan yang akan menjadi implikasinya apabila RUU tersebut disahkan. Pada masa pasca-Reformasi kata dia kewenangan yang tadinya dipegang oleh kementerian kemudian didelegasikan kepada para stakeholders kesehatan baik itu organisasi profesi, konsil kedokteran juga asosiasi fasilitas kesehatan. Namun saekarang hal-hal itu akan ditarik lagi menjadi di bawah menteri kesehatan yang wewenangnya akan menjadi sangat besar.
Termasuk kata dia, dengan akan adanya Komite Nasional Sektor Kesehatan. Komite itu nantinya akan bertanggung jawab kepada presiden dan ketuanya adalah menteri kesehatan. IDI menilai tidak seharusnya mendirikan lagi komite apalagi negara ingin melakukan efisiensi lembaga. Apalagi kewenangan itu dianggap bisa bersinggungan dengan kewenangan kementerian lain.
"Ada banyak catatan-catatan ketika sebelum reformasi di mana sentralistik kekuasaan ini juga menimbulkan permasalahan-permasalahan ya," lanjut dia.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Satgas Penyelamatan RUU Keperawatan Ahmad Efendi Kasim menjelaskan keberatan PPNI soal Omnibus Law RUU Kesehatan. Dia menyayangkan tidak diakomodirnya norma-norma keperawatan dalam Omnibus Law Kesehatan. Padahal dalam pelayanan kesehatan, yang memegang peran paling besar adalah dokter dan perawat.
Anggota Departemen Hukum dan Perundang-undangan Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) itu mengatakan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pernah berjanji menyetarakan dalam arti memberikan akses kesempatan yang sama terhadap dokter maupun perawat. Namun hal itu tidak tergambar dalam draf omnibus law.
"Dari 447 pasal dalam RUU Kesehatan tak ada terkait norma klausul atau aturan tentang keperawatan. Ini yang kita perjuangkan," kata Ahmad Efendi Kasim ketika dihubungi lewat sambungan telepon.
Dia menilai, soal spesialisasi perawat juga seharusnya mulai diatur apabila pemerintah ingin memberikan ruang karier dan keahlian yang lebih baik. Hal itu bisa berupa pendidikan spesialisasi perawat hingga kepastian aturan klinik pratama memiliki perawat spesialisasi.
"Pelayanan kesehatan itu core ada dua itu kedokteran dan keperawatan, ingin argumentasi bagus namun tak diwujudkan dalam 1 norma pun dalam RUU Kesehatan," lanjutnya.
(ezr)