Apabila HBA berada di atas US$70/ton dan pagu harga diberlakukan, perusahaan pertambangan batu bara mengabaikan selisih antara harga jual domestik dengan harga pasar yang tidak diatur.
Ketika pagu harga diterapkan, PLN mendapatkan keuntungan dari penghematan biaya yang merupakan kebalikan dari hilangnya pendapatan bagi produsen. Namun sisi negatifnya, batasan harga ini juga berdampak pada keputusan investasi dan operasional PLN.
“Untuk keperluan perencanaan investasi PLN, batas atas asumsi bahan bakar batu bara ditetapkan sebesar US$70/ton, sehingga biaya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara lebih rendah dibandingkan dengan teknologi lainnya,” klaim dokumen tersebut
Menurut Sekretariat JETP, penetapan harga batu bara yang terlalu rendah dan asumsi permintaan yang terlalu optimistis menyebabkan gangguan dalam rencana perluasan ketenagalistrikan yang mengakibatkan PLN berada di tengah-tengah armada PLTU dalam jumlah besar dan kapasitas sistem berlebih.
Selanjutnya, penerapan pembatasan harga batu bara dalam perencanaan ketenagalistrikan dapat berdampak pada pengambilan keputusan mengenai rehabilitasi dan perpanjangan umur PLTU.
“Saat ini, terdapat moratorium pembangunan PLTU dengan pengecualian terbatas seperti proyek strategis nasional. Batasan harga batu bara memengaruhi keputusan PLN dalam penyediaan listrik, karena PLN diberikan insentif untuk memproduksi listrik berbahan bakar batu bara dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan jika batubara dihargai sesuai dengan harga ekonominya.”
Berdasarkan analisis data PLTU pada 2022, biaya variabel batu bara saat ini (dengan batasan harga) adalah antara US$22—US$33 per MWh, dibandingkan dengan gas alam yang berkisar pada 56 US$/MWh.
Dengan demikian, apabila harga batu bara adalah US$140/ton, analisis awal menunjukkan bahwa sumber lain seperti gas alam akan menggantikan 82 TWh pembangkitan batu bara atau 37% dari 220 TWh pembangkitan batu bara pada 2022.
Hambat Dekarbonisasi
Dalam konteks tersebut, Sekretariat JETP menilai permasalahan utama dalam kebijakan pengendalian harga adalah pemberian insentif terhadap penggunaan batu bara dibandingkan dengan alternatif lain seperti energi terbarukan dan gas alam.
Jika membandingkan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara, energi terbarukan memiliki biaya modal awal yang lebih tinggi, tetapi biaya operasional yang jauh lebih rendah.
Di sisi lain, sebagai komoditas yang diperdagangkan secara global, batu bara bersifat fluktuatif dan rentan terhadap lonjakan harga yang signifikan.
“Dengan membatasi harga batu bara, kebijakan ini menjadikan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik yang stabil dan berbiaya paling rendah dari sudut pandang PLN, tetapi tidak dari sudut pandang ekonomi.”
Sinyal harga ini merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan PLN terkait dengan pemensiunan pembangkit listrik tenaga batubara vs perluasan, pengoperasian, dan keputusan operasional dan investasi penting lainnya seperti yang diuraikan di atas.
Dengan menyederhanakan harga batu bara, PLN juga tidak terkena gejolak alami harga batu bara di pasar, yang lagi-lagi menghilangkan insentif untuk mencari alternatif lain. Untuk itu, mempertahankan bentuk intervensi yang ada saat ini akan melemahkan perbaikan jangka panjang dalam diversifikasi dan keberlanjutan sektor ketenagalistrikan.
Kepala Sekretariat JETP Edo Mahendra mengatakan, meski menyarankan penghapusan DPO, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kebijakan tersebut kepada Pemerintah Indonesia.
“Itu kan rekomendasi ya, keputusan segala macam itu pemerintah. Bukan berarti melepas harga [batu bara] ke pasar lalu enggak dipakai, cuma dilepas sehingga relative price-nya dikoreksi,” tuturnya, seusai peluncuran CIPP JETP.
(wdh)