Pemrosesan bahan mentah lewat minyak dan gas, jadi bagian dari roadmap pemerintah dan mulai berlaku tahun ini. Kemudian dilanjutkan pada bidang perikanan. Pada langkah lanjutan, Indonesia akan mengekspor hasil olahan minyak kelapa sawit, produk kepala, rumput laut, dan garam. Langkah ini dapat meningkatkan investasi sebesar US$ 545 miliar, setara separuh dari GDP Indonesia saat ini.
“Kita selalu cerita Indonesia memiliki 280 juta penduduk, terdiri dari ribuan pulau, dan seterusnya. Ini hanya promosi, bukan investasi,” ucap Bahlil. “Sekarang kita ingin sampaikan: ‘Kami mau industri apa? Kamu dapat melakukannya di sini [Indonesia],” tambah dia.
Kementerian Investasi/BKPM mempersilahkan investor untuk memilih, lengkap dengan perhitungan pengembalian investasi, perkiraan waktu breakeven, dan insentif yang bisa diberikan pemerintah. Sebagai contoh, sebuah pabrik biji kakao senilai Rp 49,8 miliar atau setara US$ 3,3 juta di Sulawesi Tengah yang menawarkan pengembalian 22%, atau pabrik pengolahan tembaga di Jawa Timur senilai US$ 1,13 miliar dengan pengembalian 16%.
Kebijakan ini mulai terlihat hasilnya, dengan catatan surplus perdagangan Indonesia tahun lalu. Investasi juga tercatat naik 44%, menembus rekor senilai US$ 80 miliar. Hal ini didukung oleh nikel dan tembaga, yang berjalan di luar pulau Jawa.
Investasi pemurnian nikel di Maluku Utara bahkan meningkatkan ekonomi wilayah tersebut sebesar 29% di 2021. “Kegiatan penambangan nikel di sana sudah berjalan puluhan tahun tapi kami baru melihat sekarang pertumbuhan yang besar seperti ini,” kata Bahlil.
“Hasil dari pertumbuhan mendatangkan pekerjaan. Orang tidak perlu pindah ke Jawa lagi hanya untuk mencari pekerjaan bagus,” ucap dia.
Di Papua Barat, terdapat pabrik yang akan mengubah gas alam menjadi metanol, urea, dan amonia, sebagai bahan pupuk. Beberapa daerah di Indonesia sedang disiapkan pabrik pemroses dan pengemasan tuna dan udang siap konsumsi. Tidak lagi hanya menjual ikan hasil tangkapan ke Thailand atau Vietnam.
Di luar itu semua, nikel tetap jadi komoditas yang paling menguntungkan. Terjadi kenaikan permintaan dunia khususnya dari produsen baterai untuk industri kendaraan listrik. Posisi tawar nikel Indonesia menjadi kuat hingga membuat penambang nikel akhirnya membangun smelter di dalam negeri.
Upaya ini mengundang pertanyaan, bagaimana kebijakan ini bisa berjalan dengan investasi miliaran dolar yang sudah berjalan. Bagaimana pula pengembangan teknologi lanjutan serta upaya peningkatan produktivitasnya.
Kebijakan hilirisasi industri sudah tak lepas dari risiko hukum. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) belum lama ini menyatakan dukungan kepada Uni Eropa atas gugatan larangan ekspor nikel Indonesia. Namun upaya Indonesia ini adalah cara untuk mengoptimalkan hilirisasi industri di Indonesia.
Kini pendekatan baru ditempuh pemerintah lewat penghapusan insentif secara bertahap atas barang-barang mentah yang belum diproses. Tidak ada lagi pengampunan pajak untuk smelter dengan kandungan nikel kurang dari 40%. Pemerintah mendorong persentase di angka 70%-80%.
Bahlil yakin kebijakan hilirisasi tetap berjalan tanpa ada hambatan meski Februari 2024 Indonesia memasuki pemilihan umum (pemilu) legislatif dan presiden, karena pada waktu yang bersamaan pabrik dan smelter telah terbangun.
Terlebih, Jokowi berulang kali berkata, hilirisasi menjadi kunci untuk mendapatkan nilai tambah bagi kemajuan sebuah negara.
(bbn)