Hadirnya perusahaan healthtech hadir di Indonesia di tengah layanan kesehatan berbasis offline belum ada di tingkat kematangan. Hal yang secara bisnis menjadi kesempatan mereka.
Permintaan layanan kesehatan berbasis teknologi yang berkurang membuat perusahaan healthtech harus meramu ulang strategi bisnis mereka. Walakin pemodal ventura yang telah menyuntikkan dana kepada para startup cenderung semakin memilih dalam berinvestasi. Dalam laporan terbaru AC Ventures dan Bain & Co, investor fokus pada racikan startup dengan unit ekonomi yang kuat dan mendapatkan profitabilitas.
“Terbukti walaupun sudah disuntikkan modal pendanaan pun masih sulit untuk meningkatkan layanan karena demand-nya yang berkurang,” terang Nailul. Perlu ada peningkatan pasar secara luas pada bidang healthtech sebelum industri ini memberi pelayanan yang beragam.
Direktur Celios Bhima Yudhistira menambahkan bahwa saat pendemi menjadi endemi publik lebih memilih berobat secara tatap muka atau bertemu langsung dengan dokter. Keadaan yang makin menyulitkan para healthtech, di tengah kondisi makro ekonomi yang menantang.
“Kondisinya berubah, sekarang ini kalau telemedicine agak kurang perkembangannya karena masyarakat masih ingin melakukan konsultasi dengan dokter secara tatap muka gitu, ingin bertemu secara langsung, berkonsultasi langsung dan itu dianggap lebih lebih punya kredibilitas dibandingkan telemedicine,” cerita Bhima kepada Bloomberg Technoz.
Di samping itu, Bhima juga menguraikan, dana-dana asing yang sebelumnya rajin berinvestasi pada sektor healthtech Indonesia tengah menghadapi tren inflasi yang tinggi. “Artinya [pelaku healthtech] menjauhi risiko dan startup dianggap sebagai sektor yang berisiko tinggi,” beber Bhima.
Faktor lainnya, lanjut Bhima, adalah fluktuasi nilai tukar, kondisi geopolitik, dan pemilu di Indonesia juga berpengaruh terhadap keputusan pendanaan atau investasi bagi startup.
PHK Halodoc dan Tantangan ‘Pivot’ Layanan Kesehatan
Adanya faktor-faktor pemberat yang dialami, membuat healthtech akhirnya mencari model bisnis baru yang sesuai dan berkelanjutan. Sehingga, tak sedikit startup sektor kesehatan berubah dari yang awalnya menawarkan telemedicine menjadi menawarkan digital transformation di rumah sakit dan Puskesmas.
Perusahaan healthtech akhirnya menawarkan, misalnya pencatatan riwayat pasien dengan teknologi blockchain, perbaikan manajemen rumah sakit melalui aplikasi, pembenahan manajemen Human Resource (HR), atau pembaruan alur rantai pasok farmasi atau obat-obatan.
“Itu yang kemudian menjadi menarik sekarang ini, jadi yang tadinya dia dianggap sebagai kompetitor, dari rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan fisik, sekarang banyak startup yang berkolaborasi memperkuat layanan-layanan yang sifatnya fisik. Ini yang akan menjadi tren ke depannya,” pungkas Bhima.
Permintaan layanan kesehatan berbasis teknologi yang berkurang turut membuat perusahaan healthtech harus meramu ulang strategi bisnis mereka, seperti disampaikan oleh Adeline Hindarto, VP Government Relations & Corporate Affairs Halodoc, saat mengonfirmasi kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) 20% dari total karyawan mereka.
“Sebagai perusahaan teknologi di industri kesehatan, adaptasi dan kesigapan selalu selalu menjadi mantra kami selama perjalanan pertumbuhan kami di Indonesia. Namunt berkaca pada iklim industri saat ini, langkah-langkah adaptif biasa tidak lagi memadai. Untuk mempersiapkan organisasi dalam industri yang berkembang pesat, diperlukan penyesuaian kapasitas organisasi atau atau rightsizing diperlukan,” kata Adeline.
Keputusan PHK Halodoc akan menciptakan level produktivitas yang lebih baik. Apa yang disebutkan Halodoc sebagai realokasi sumber daya manusia dan pengembangan keterampilan karyawan. Penyesuaian jumlah karyawan, “memungkinkan kami untuk lebih memanfaatkan peluang di industri kesehatan di mana Halodoc.”
PHK adalah keputusan yang tidak mudah, tegas perusahaan. Namun pertumbuhan bisnis yang sustainable harus tetap dijaga. Halodoc kemudian menyatakan tetap memenuhi hak-hak karyawan terdampak PHK sesuai dengan aturan yang berlaku. “Perusahaan telah memberikan jaminan kesehatan bagi karyawan yang terdampak hingga Desember 2024,” jelas Adeline.
Pasca pandemi berakhir, CEO & Co-Founder of Halodoc Jonathan Sudharta telah menyiratkan bahwa perusahaan menghadapi tantangan baru, utamanya dalam hal pemenuhan akses layanan kesehatan, saat mengabarkan raihan pendanaan baru sebesar US$100 juta lewat penggalangan seri D pada bulan Juli 2023.
“Setelah dampak pandemi, kita berada pada momen yang sangat penting. Saat ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk dapat memenuhi permintaan yang terus meningkat terhadap akses layanan kesehatan yang berkualitas di Indonesia,” kata Jonathan. “ Fokus dari Halodoc adalah masalah kesehatan yang dialami oleh para pengguna kami - untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut, Halodoc menyederhanakan akses kesehatan.”
Seluruh Sektor Ekonomi Digital Melambat
Layanan kesehatan digital atau healthtech menjadi bidang baru pendanaan para perusahaan ventura. Berdasarkan laporan gabungan Google, Temasek, dan Bain & Co, porsinya menjadi yang terkecil, itupun masuk dalam gabungan sektor baru (wirausaha, teknologi kesehatan, teknologi pendidikan, deeptech/AI, Web3/crypto, properti, otomotif, dsb). Secara kumulasi total pendanaan pada ekonomi digital per semester I-2023 berada di angka US$400 juta.
Ekonomi digital Indonesia tetap didorong oleh laju pertumbuhan e-commerce, dengan potensi nilai transaksi kotor (GMV) sekitar US$82 miliar hingga akhir tahun 2023, yang kemudian naik menjadi US$109 miliar, dan berpotensi terangkat ke US$210-US$360 miliar. Empat sub sektor yang diamati pertumbuhannya adalah e-commerce mencapai US$62 miliar, transportasi dan makanan US$7 miliar, perjalanan online US$6 miliar dan media online di US$7 miliar.
“Setelah pembatasan mobilitas akibat pandemi dicabut pada akhir 2022, terjadi peningkatan kembali aktivitas offline. Berbagai sektor ekonomi digital yang sebelumnya mengalami pertumbuhan, termasuk pengantaran makanan dan e-commerce akan melihat pertumbuhan melambat, namun transportasi online mengalami pertumbuhan pesat. Layanan perjalanan online juga mengalami kenaikan yang menjanjikan, baik dari perspektif permintaan domestik maupun perjalanan bisnis,” tulis Google, Temasek, dan Bain & Co.
Saat ekonomi dunia dihadapkan pada tantangan, pemain digital juga telah mengurangi anggaran promosi dan insentif sebagai bagian dari menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas. Hal yang berimbas langsung pada penurunan dari sisi bisnis. Di sisi lain terjadi adopsi pembayaran digital yang makin pesat.
(ros/wep)