Peristiwa ini menambah panjang rentetan ketidaknetralan pemerintah dalam Pemilu 2024. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi, melalui mantan Ketua MK Anwar Usman yang juga paman Gibran, mempercepat dan mengabulkan uji materi batas usia UU Pemilu. Putusan itu kemudian menjadi pembenaran bagi Gibran yang berbekal jabatan wali kota selama dua tahun menjadi cawapres.
Sejumlah pemerintah daerah yang dikomandoi penjabat (PJ) gubernur kemudian dilaporkan mencopot baliho dan mempersulit acara para lawan Prabowo-Gibran. Bahkan, beberapa anggota polisi dikabarkan membantu pemasangan baliho Gibran di Jawa Timur.
Kekhawatiran soal netralitas juga muncul karena sejumlah pejabat posisi strategis saat ini diisi orang dekat presiden. Sejumlah kepala daerah tingkat provinsi diisi Pj Gubernur yang berasal dari lingkungan Istana dan pejabat kementerian. Kepala Kepolisian dan calon Panglima TNI juga rekan Jokowi saat menjadi wali kota Solo.
Berdasarkan aturan, perangkat desa memang tak dilarang mendukung salah satu pasangan calon Pemilu asalkan sebagai pribadi; dengan merujuk pada hak untuk memilih dan dipilih. Namun, sebagai pejabat publik, seluruh jajaran pemerintahan desa terikat pada ketentuan netralitas pada UU Pemilu.
Misalnya, Pasal 490 UU Pemilu menyebutkan kepala desa dilarang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu. Pelanggaran terhadap aturan ini bahkan diancam pidana penjara satu tahun dan denda Rp12 juta. Demikian juga dengan peserta Pemilu, pada Pasal 290 ayat 2, dilarang melibatkan perangkat desa untuk memobilisasi dukungan kepadanya. Akan tetapi, kedua pasal ini memang memiliki ruang yang sempit yaitu sebatas pada masa kampanye.
(fbt)