“Pendanaannya sih ada, cuma ya hampir sama dengan dana komersial persyaratannya. Kemarin juga dipertanyakan oleh Pak Presiden [Joko Widodo] ke Pak [Presiden AS Joe] Biden [di sela pertemuan bilateral keduanya di Gedung Putih, awal pekan lalu],” ujar Arifin, akhir pekan lalu.
Isu yang dikemukakan Jokowi kepada Biden, kata Arifin, berkaitan dengan sumber pendanaan untuk proyek transisi energi dengan beban bunga yang tidak memberatkan dan memudahkan bagi negara berkembang. “Tidak seperti [pinjaman] commercial financing,” tegasnya.
Alokasi ke 5 Program
Lebih lanjut, Arifin mengatakan nantinya dana JETP tersebut akan dialokasikan untuk lima program transisi di Tanah Air, yang mencakup; pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), transmisi, pembangunan baseload energi baru terbarukan (EBT), baseload energi non-EBT, serta ekosistemnya.
“Kita kalau mengandalkan sumber [dana] sendiri kan transmisi enggak nyambung-nyambung; lama. Jadi harus ada kerja sama dengan swasta. Kalau kerja sama investasi, harus untung, enggak kelebihan dan enggak rugi. Kita harus kasih proposal yang menguntungkan dan memudahkan,” kata Arifin.
Dalam pidato kuliah umumnya di Stanford University, AS medio pekan lalu, Jokowi memang sempat menyinggung soal pendanaan transisi energi yang berasal dari negara maju, kepada negara berkembang dan negara miskin.
Dia menyebut, alih-alih untuk mengurangi penggunaan energi fosil demi menekan emisi, pendanaan tersebut justru makin menambah beban negara berkembang dan miskin.
Semestinya, menurut Jokowi, pendanaan yang diberikan kepada negara-negara berkembang untuk melaksanakan transisi energi tersebut lebih bersifat membangun, tidak hanya membebani sebagai utang.
"Sampai saat ini, yang namanya pendanaan iklim masih business as usual, masih seperti commercial banks. Padahal, seharusnya lebih konstruktif, bukan dalam bentuk utang yang hanya akan menambah beban negara-negara miskin maupun negara-negara berkembang,” ujarnya.
Jokowi juga mengatakan pendanaan dan proses transisi energi global hingga kini masih sebatas wacana yang belum tentu tercapai.
“Inilah yang menjadi tantangan dan sering menyulitkan negara-negara berkembang," tegasnya.
Saat ini, kata dia, Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmennya dalam melakukan upaya transisi energi. Dia membeberkan capaian Indonesia yang saat ini telah berhasil menurunkan emisi sebesar 91,5 juta ton
Selain itu, juga telah mengurangi deforestasi hingga 104.000 hektare hingga 2022. "Kemudian kawasan hutan juga direhabilitasi seluas 77.000 hektare, hutan bakau direstorasi seluas 34.000 hektare hanya dalam waktu satu tahun."
Namun, kepala negara juga mengatakan masih terdapat tantangan besar lainnya bagi Indonesia dan juga negara berkembang lainnya untuk melakukan tansisi energi, utamanya dalam transfer teknologi dan pendanaan.
Jika hal itu tercapai, kata dia, maka dapat berimplikasi dalam menghasilkan energi bersih yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
Indonesia sendiri menerima pendanaan iklim dari negara-negara maju senilai US$20 miliar melalui skema JETP, yang notabene merupakan mekanisme pendanaan program transisi energi Indonesia yang diluncurkan di sela G20 di Bali, pada November 2022.
Melalui program ini, koalisi negara-negara maju akan memobilisasi dana hibah dan pinjaman lunak senilai US$20 miliar selama periode 3—5 tahun.
Program ini melibatkan kelompok negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) yang dipimpin oleh AS dan Jepang, serta beranggotakan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia, dan Inggris.
Salah satu program prioritas dari JETP itu adalah pensiun dini PLTU berbasis batu bara di Indonesia. Terkait dengan itu, dana JETP nantinya akan langsung disalurkan ke perusahaan yang menjalankan program itu atau dikelola oleh pemerintah melalui lewat PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI.
Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Muhammad Habib menyarankan kedua negara untuk mempercepat implementasi kerja sama JETP secara konkret, di tengah situasi ketidakpastian ekonomi global.
"Perlu diupayakan kecepatan agar implementasi segera terlihat, karena sampai sekarang masih menunggu sejauh mana implementasi itu dilakukan di tengah banyak situasi ketidakpastian, termasuk pemilihan umumnya yang dijalankan tahun depan, baik di Indonesia maupun di AS," kata Habib.
Habib menyarankan AS harus menjalankan komitmennya untuk membantu negara berkembang dengan menyalurkan pembiayaan transisi energi sebelum proses Pemilu AS tahun depan. Indonesia juga disebut juga harus melakukan harmonisasi terhadap agenda hiliarisasi.
"Dari AS memang harus menunjukkan ada ini diwujudkan secara cepat sebelum proses pemilu langsung, misalnya tahun depan," kata Habib.
"Namun, dari sisi Indonesia sendiri juga harus melakukan harmonisasi terkait dengan agenda hiliarisasi yang masih memungkinkan untuk penggunaan pembangkit listrik tenaga uap atau batu bara gitu ya untuk melakukan hiliarisasi itu sendiri selama berkaitan dengan strategi nasional" tutup Habib.
-- Dengan asistensi Dinda Decembria
(wdh)