Bahkan bila dibanding dengan kondisi prapandemi, situasi ketenagakerjaan di Indonesia terlihat masih belum pulih. Pada Agustus 2019, jumah pengangguran terbuka mencapai 7,05 juta orang dan setengah pengangguran sebesar 8,13 juta orang. Total jumlah orang Indonesia yang menganggur dan juga butuh pekerjaan lebih layak adalah 15,18 juta orang.
Tren PHK dan bertambahnya jumlah pengangguran dikhawatirkan berlanjut di tengah kondisi perekonomian domestik yang semakin menunjukkan tanda-tanda pelemahan sejauh ini.
Beberapa pertanda itu di antaranya adalah, aktivitas industri yang terus lesu. Aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Manager's Index (PMI) menurun ke 51,5 pada Oktober lalu, level terendah sejak Mei walaupun masih di zona ekspansif.
“Penurunan PMI disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan produksi. Meski masih solid, laju pertumbuhannya adalah yang terlemah dalam 4 bulan terakhir,” sebut keterangan resmi S&P Global.
Perlambatan pertumbuhan produksi manufaktur merupakan imbas kinerja penjualan yang melemah. Beberapa pengusaha mengakui ada penurunan permintaan pada Oktober.
“Level keyakinan dunia usaha pun menurun. Sebagai dampak dari perlambatan pertumbuhan penjualan, dunia usaha mulai mengurangi jumlah pekerja yang mencerminkan keputusan bisnis menjadi lebih konservatif,” papar Jingyi Pan, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence.
Indeks Keyakinan Industri yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian juga memperlihatkan gambaran serupa dengan penurunan indeks dari 52,51 pada September menjadi ke posisi 50,7 pada Oktober. "Perlambatan IKI pada Oktober dapat dikatakan cukup signifikan dalam empat bulan terakhir," demikian tulis Kementerian.
Penyebab penurunan itu karena terjadi penurunan produksi dan pesanan baru. Pesimisme juga meningkat di kalangan industri dalam memandang kondisi industri enam bulan ke depan menjadi 14,05%.
Data-data itu melengkapi indikator lain seperti berlanjutnya penurunan impor bahan baku/penolong yang mencapai 6,08% bulan lalu. Tren penurunan itu sudah berlangsung sejak lima bulan terakhir.
Daya beli kian melemah
Kelesuan aktivitas industri yang terus mencatat penurunan produksi dan pesanan baru itu tidak bisa dilepaskan dari daya beli masyarakat Indonesia yang ditengarai semakin terpuruk saat ini.
Tekanan harga pangan yang melejit telah menggeroti kemampuan belanja masyarakat. Angka inflasi inti, yang sering dibaca sebagai cerminan tingkat daya beli masyarakat, saat ini sudah di bawah 2% yang menjadi batas bawah target inflasi Bank Indonesia (BI).
Mengacu pada hasil survei terakhir BI, kondisi keuangan masyarakat Indonesia saat ini memang lebih buruk dibanding enam bulan lalu terlihat dari penurunan Indeks Penghasilan Saat ini sebesar 1,2 bps pada Oktober menjadi 116,4. Sementara pada saat yang sama, Indeks Pembelian Barang Tahan Lama (durable goods) juga melemah 0,1 bps.
Penurunan kondisi keuangan paling besar dirasakan oleh kelompok menengah atas dengan pengeluaran di atas Rp4,1 juta per bulan yang sama-sama mencatat penurunan Indeks Penghasilan Saat Ini hingga double digit. Padahal kelompok ini menjadi motor konsumsi rumah tangga terutama ketika kelompok pengeluaran lebih kecil semakin banyak tersedot oleh pembayaran cicilan utang dan terjepit kenaikan harga pangan yang menggerus konsumsi.
Secara umum, berdasar hasil survei yang sama, pendapatan masyarakat RI saat ini banyak tersedot untuk membayar cicilan utang alih-alih untuk konsumsi. Rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) pada Oktober, menurun jadi 75,6% dari bulan sebelumnya sebesar 76,3%. Sementara proporsi pendapatan untuk cicilan utang naik jadi 8,8% dan untuk tabungan juga meningkat jadi 15,7%.
Beban cicilan yang meningkat itu bisa semakin naik dengan keputusan BI mengerek bunga acuan lagi pada Oktober menjadi 6%.
Situasi itu dapat semakin menekan konsumsi masyarakat dan menahan produksi industri akibat kelesuan permintaan domestik. Celakanya, permintaan dari luar negeri alias ekspor juga sudah lebih dulu lesu.
"Jadi [ada] tekanan dari sisi produksi, kenaikan biaya produksi terutama di sektor ritel makanan dan minuman juga kenaikan tingkat bunga serta prospek ekspor terutama manufaktur berorientasi ekspor yang terkena perlambatan ekonomi global," kata Bhima Yudistira, Direktur Centre of Law and Economic Studies (CELIOS).
Ancaman PHK bisa terus berlanjut bila situasi belum menunjukkan kepastian pemulihan yang meyakinkan. Ditambah ketidakpastian politik jelang Pemilu dan Pilpres 2024 yang menahan ekspansi para pelaku usaha, bukan tidak mungkin industri terus melangsungkan efisiensi melalui pemangkasan tenaga kerja.
“Apalagi tahun depan melihat mitra dagang indonesia ekonominya tumbuh lebih lambat, maka sekarang sudah banyak industri manufaktur yang mau ekspansi jadi tertahan. Nah yang existing tanpa adanya investasi baru, mereka pastinya akan melakukan berbagai rekayasa, berbagai efisiensi untuk bisa bertahan di 2024 itu situasinya,” imbuh Bhima.
-- dengan asistensi Mis Fransiska Dewi.
(rui/roy)