Logo Bloomberg Technoz

Pertama, tekanan ketidakpastian global sudah mereda. Mayoritas pelaku pasar optimistis The Fed sudah menemui titik akhir siklus kenaikan bunga acuan. Data-data perekonomian Amerika Serikat (AS) terakhir yang dirilis terutama data inflasi dan pengangguran, memperlihatkan pengetatan moneter The Fed untuk menaklukkan inflasi mencatat kemajuan.

Walau masih jauh dari target 2%, The Fed diprediksi akan memilih jalur 'dovish' dengan mempertahankan level bunga tinggi dalam waktu lebih lama (higher for longer), sampai akhirnya inflasi bisa benar-benar jinak. Langkah itu menjadi opsi logis karena bank sentral paling berpengaruh itu juga berkepentingan menghindari dampak pengetatan berlebihan pada perekonomian AS.

Kedua, rupiah semakin menguat seiring dana asing yang kembali masuk ke pasar domestik.

Langkah BI menaikkan bunga acuan baik itu pada 2022 maupun Oktober kemarin, lebih banyak didorong oleh kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah ketimbang untuk menekan inflasi. Kini dengan inflasi sudah jinak secara cepat dan rupiah kembali menguat, tekanan bagi BI untuk mengerek BI7DRR agar selisih imbal hasil dengan AS tetap lebar, menjadi semakin berkurang. 

Nilai rupiah yang sempat mendekati Rp16.000/US$ kini sudah semakin menguat di kisaran Rp15.400-an didukung oleh arus masuk modal asing kembali masuk. Pekan lalu, investor asing mencetak posisi beli bersih Rp2,49 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), lalu sebesar Rp870 miliar di pasar saham dan Rp3,97 triliun di Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Ketiga, daya beli masyarakat Indonesia dalam ancaman. Beberapa indikator terbaru memperlihatkan daya beli masyarakat tengah tertekan dan dicemaskan akan menggerus kinerja konsumsi domestik, motor utama pertumbuhan ekonomi RI saat ini di tengah kinerja ekspor yang terus anjlok. 

Penjualan motor dan mobil terus melanjutkan penurunan, begitu juga penjualan properti di pasar primer yang juga masih terkontraksi. Bukan cuma itu, aktivitas manufaktur juga semakin melemah ke level terendah sejak Mei lalu. Menaikkan lagi bunga acuan akan semakin membuat pertumbuhan ekonomi yang telah melambat pada kuartal III-2023 lalu, menjadi semakin terpuruk.

Sebagai catatan inflasi inti pada Oktober lalu sudah berada di bawah batas BI yaitu di 1,97%. Inflasi inti menjadi cerminan daya beli masyarakat. Sementara inflasi IHK juga telah terkendali di angka 2,56% year-on-year

Keempat, amunisi BI untuk membantu penguatan rupiah semakin lengkap. Setelah merilis SRBI di mana pemodal asing telah mencatatkan posisi beli bersih sebesar Rp21,02 triliun sejak instrumen itu dilansir pertengahan September lalu. 

Pekan ini BI juga akan memperkenalkan instrumen baru yang ditujukan untuk menyedot likuiditas valas termasuk dari investor asing yaitu Sertifikat Valas BI (SVBI) dan Sukuk Valas BI (SuVBI) dalam lelang perdana 21 November. 

Bersama dengan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang telah berlangsung sejak Agustus dan diprediksi bisa menambah pasokan valas dalam negeri di kisaran US$9,2 miliar sampai Desember nanti, amunisi untuk memperkuat rupiah semakin banyak.

Apa kata ekonom Bloomberg Economics:

"Kami memperkirakan BI mempertahankan BI7DRR di 6% pada 23 November nanti. Rupiah sudah menguat signifikan sejak kenaikan bunga acuan yang tak terduga pada Oktober berkat banyaknya pertanda bahwa The Fed telah mendekati akhir siklus kenaikan bunga.

"Namun, potensi kenaikan bunga acuan BI7DRR tetap ada karena rupiah masih rapuh. Selain itu, BI juga menaikkan perkiraan inflasi 2024 menjadi 3,2%, lebih dekat ke batas atas target tahun depan 1,5%-3,5%," kata Tamara M. Henderson, ekonom Bloomberg Economics.

(rui/aji)

No more pages