"Memang, kalau pembukaan kode broker seperti sebelumnya itu perlu untuk dikaji. Saya rasa, itu ada kontranya [sehingga perlu untuk dikaji]," jelas Inarno.
Penurunan Nilai Transaksi
Penghapusan kode broker dan domisili selama jam perdagangan sudah dilakukan sejak 6 Desember 2021. Jelang dua tahun penerapan kebijakan ini, rupanya pelaku pasar masih cenderung lebih menyukai jika kode broker dan domisili dibuka.
Terutama, dalam konteks investor ritel. Dengan dibukanya kode broker dan domisili, mereka bisa mengekor pergerakan investor institusi selama bertransaksi.
Penutupan kode broker dan domisili juga ditengarai sebagai salah satu penyebab transaksi di bursa saham cenderung sepi. Irvan tidak menampik soal ini.
Sedikit gambaran, rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini sebesar Rp10,49 triliun. Angka ini turun 31,44% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, Rp15,3 triliun.
"Kalau dibilang ada pengaruh, mungkin memang ada pengaruh. Tapi, kalau ditanya seberapa besar pengaruhnya, itu yang tidak bisa kami nilai secara independen," sambung Irvan.
Pasalnya, sentimen pasar memang tidak bergerak sendiri. Di satu sisi, penutupan kode broker dan domisili memberikan pengaruh, di sisi yang lain, pasar juga tengah diselimuti sentimen negatif dari domestik dan luar negeri.
Irvan menambahkan, pihaknya tidak hanya mempertimbangkan keinginan dari investor ritel. Sebab di sisi lain, investor institusi lebih nyaman jika kode broker dan domisili tetap ditutup selama jam perdagangan.
Inarno menambahkan, dengan perilaku investor ritel yang mengekor pergerakan investor institusi sejatinya tidak mencerminkan keputusan investasi berdasarkan fundamental. Ini menjadi salah satu alasan mengapa kode broker dan domisili kala itu ditutup.
Sehingga, kalau pun mayoritas AB memilih kode broker dan domisili kembali dibuka, keputusan akhir tetap ada di tangan OJK. "Kami tahu mana yang baik dan itu yang kami lakukan, yang menentukan kami sebagai regulator,” kata Inarno.
(dhf/ain)