India telah memberlakukan bea ekspor dan harga minimun. Sementara jenis beras putih pecah dan beras putih non-basmati tidak dapat diekspor. Harga melonjak ke level tertinggi dalam 15 tahun pada Agustus sebagai respons dari hal ini, karena pembeli dari negara-negara pengimpor paling rentan menahan pembelian.
Beberapa meminta keringanan. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, harga beras pada Oktober masih 24% lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
B.V. Krishna Rao, presiden Asosiasi Eksportir Beras yang mewakili pengirim negara ini mengatakan pemerintahan Modi ingin memastikan pasokan yang cukup di dalam negeri dan meredam kenaikan harga. Dia mengatakan pemerintah kemungkinan akan tetap mempertahankan pembatasan ekspor hingga pemiu tahun depan.
Kedatangan El Niño, yang biasanya membuat tanaman layu di seluruh Asia, mungkin lebih memperketat pasar beras global, pada saat persediaan dunia menuju penurunan tahunan ketiga berturut-turut. Pemerintah di Thailand mengatakan produksi gabah di negara eksportir nomor dua tersebut diperkirakan akan turun 6% pada tahun 2023-2024 karena cuaca kering.
“Beras sulit karena pemasok lain tidak banyak,” kata Joseph Glauber, seorang peneliti senior di Institut Riset Kebijakan Pangan Internasional di Washington. India meninggalkan "sebuah lubang besar yang harus diisi," tambahnya.
Yang lebih memperumit keadaan adalah kekhawatiran atas hasil panen di India yang membuat para pembuat kebijakan semakin berhati-hati. Menurut kementerian pertanian, panen yang ditanam pada musim hujan bisa turun hampir 4% dari tahun sebelumnya karena curah hujan yang tidak merata. Curah hujan kumulatif pada periode musim hujan dari Juni hingga September merupakan yang terlemah dalam lima tahun.
Menjamin ketersediaan pasokan untuk mendukung program makanan gratis di negara ini, yang menguntungkan bagi lebih dari 800 juta orang, adalah prioritas utama pemerintah. Modi mengatakan awal bulan ini bahwa pengaturan tersebut akan diperpanjang selama lima tahun. Dia membuat pengumuman tersebut beberapa hari sebelum serangkaian pemilu di lima negara bagian.
Bantuan ini menjadi lebih penting karena harga pangan terus meningkat. Menurut data yang dikumpulkan kementerian pangan, harga eceran beras di New Delhi naik 18% dibandingkan setahun sebelumnya, sementara gandum menjadi 11% lebih mahal.
Juru bicara untuk kementerian pangan dan perdagangan mengatakan pemerintah terus memantau harga pangan. Keputusan yang sesuai mengenai ekspor akan diambil pada waktu yang tepat, dengan memperhatikan kepentingan konsumen serta petani.
Kebijakan India pada akhirnya mungkin akan menguntungkan konsumen yang kekurangan uang di negara dengan populasi terbesar di dunia tersebut. Namun hal yang sama tidak berlaku bagi populasi yang rentan di Afrika dan Asia, di mana miliaran orang bergantung pada pasokan beras global yang melimpah.
Inflasi beras di Filipina melonjak ke level tertinggi dalam 14 tahun pada bulan September, bahkan setelah adanya perintah presiden untuk menetapkan batas biaya. Di Indonesia, pemerintah meningkatkan impor untuk meredam harga sebelum pemilihan presiden pada tahun 2024.
Di Afrika Barat, warga Nigeria termasuk di antara yang terkena dampak kenaikan biaya. Harga beras, bahan utama pembuatan jollof yang merupakan hidangan populer di Nigeria, melonjak 61% pada September. Inflasi pangan tahunan meningkat menjadi 30,6% pada bulan itu karena inflasi umumnya naik 26,7%, laju tercepat sejak Agustus 2005.
Industri beras Amerika Serikat mengatakan larangan ekspor India tidak diperlukan. "India memiliki stok yang lebih dari cukup saat ini," kata Peter Bachmann, presiden dan CEO USA Rice.
"Sementara eksportir kita (dan eksportir utama lainnya di Asia) mendapat keuntungan dalam jangka pendek, ketika India mencabut larangan ekspor dalam beberapa bulan mendatang, mereka sekali lagi akan secara signifikan mengubah harga dunia."
(bbn)