Pemerintah, lanjut Novieta, harus tetap melindungi UMKM dan produk dalam negeri dari serbuan produk-produk impor dengan harga lebih murah atau predatory pricing. Banyak negara sudah mengatur terkait teknologi, salah satunya mengelola transparansi algoritma dan data yang ada di dalam platform.
Pengaturan ini, jelas Novieta, adalah langkah afirmasi untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, sekaligus melindungi UMKM dengan menjadikan produk dalam negeri berdaya saing. Langkah pemerintah juga bertujuan melindungi data pribadi pelanggan.
“Meski ada pengaturan ekonomi digital di negara kita, mereka tidak akan pergi karena pangsa pasar Indonesia sangatlah besar. Namun, tentu dalam menjalankan bisnisnya sesuai dengan ketentuan regulasi yang berlaku, tidak merusak ekosistem dan sustainable,” klaim Novieta.
Menurutnya, UMKM masih dapat melakukan perdagangan melalu social commerce, yaitu penyelenggara medsos yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu. Hal ini memungkinkan pedagang dapat memasang penawaran barang dan/atau jasa.
“Jadi UMKM masih dapat menggunakan fasilitas social commerce yang disediakan oleh social media. Diharapkan, UMKM Indonesia dapat tetap bertumbuh, berkembang dan bersaing secara adil dalam era digital yang sangat dinamis,” ungkapnya.
Dia pun menanggapi soal pelaku UMKM yang melakukan live shopping di Tiktok, dan melarikan transaksi ke WhatsApp dan Shopee. Dia menilai sesuatu yang wajar bagi pelaku UMKM mengombinasikan saluran promosi atau pemasaran produknya dengan transaksi lewat platform lain.
“Berkaitan dengan social media yang belum mempunyai izin social commerce, maka belum dapat melakukan transaksi jual-beli secara online dan dapat dialihkan ke sarana online lain seperti marketplace, WA, retail online, dan lain-lain,” terang dia.
“Apabila social media tersebut sudah mempunyai izin social commerce, maka UMKM dapat mengakses fasilitas tersebut,” tandasnya.
(ros/wep)