Kebijakan yang telah berlaku sejak akhir tahun 2021 itu, lanjut Alfred, menimbulkan perilaku ikut-ikutan atau herding behavior. Pola ini diketahui saat ada kelompok dengan berasumsi bahwa orang-orang pada komunitasnya tersebut telah melakukan riset yang menjadi dasar dari tindakan mereka.
Hal yang membuat banyak pelaku pasar yang melakukan perdagangan bukan berdasarkan hasil analisisnya sendiri. Herding behavior berisiko dapat menyebabkan panic buying, bahkan bisa terjadi penurunan pasar saham secara tiba-tiba (market crash) karena tersulut kepanikan jual saham.
Ia menambahkan bahwa pembukaan dua kode ini dianggap penting sejumlah analis. Dimana kode broker merupakan kode unik bagi setiap brokerage atau perusahaan efek yang kemudian digunakan sebagai tanda melalui transaksi. Sedangkan Kode Domisili merupakan kode perusahaan sekuritas yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan atau OJK.
Moelonoto The, Presiden Direktur Indo Premier Sekuritas juga mendukung keputusan BEI ini, apalagi ini bagi untuk investor ritel. Kode yang ditutup hanya akan menguntungkan investor institusi. Dukungan yang sama dikatakan Presiden Direktur Surya Fajar Sekuritas Steffen Fang.
“Secara transaksi akan lebih besar karena pasar lebih ramai. Para pemain bisa melihat arah pergerakan saham yang digerakkan oleh beberapa broker besar,” jelas dia.
Sejak 6 Desember 2021 lalu, BEI mengeluarkan kebijakan untuk menutup Kode Broker dan Kode Domisili saat jam perdagangan berlangsung. Kode hanya akan muncul pasca perdagangan usai, atau pada sore harinya.
Namun sejak beberapa hari lalu, beredar kabar jika BEI tengah melakukan survey pada pelaku pasar sebagai post implementation review kebijakan sebelumnya, seperti diklarifikasi oleh Direktur Perdagangan & Pengaturan Anggota Bursa (AB) BEI Irvan Susandy, hari Kamis kemarin. Survey itu melakukan bagian dari post implementation review penutupan kode broker dan domisili.
(wep)