"Perpanjangan PTFI sampai 2061 memang urgen dilakukan untuk menjamin kepastian investasi, di mana persyaratannya adalah penambahan saham 10% kepada BUMN dan investasi baru, baik di eksplorasi maupun hilir [smelter]," ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Kamis (16/11/2023).
Dadan pun tidak menampik pemerintah juga meminta Freeport membangun smelter tembaga baru di Fakfak, Papua Barat sebagai syarat perpanjangan IUPK hingga 2061. Namun, proyek tersebut masih dalam proses studi kelayakan atau feasibility study.
“Pembangunan smelter di Papua direncanakan dan dilakukan oleh PTFI, sedangkan nilai investasinya masih dilakukan [studi] kelayakan,” tuturnya.
Jika IUPK dan divestasi saham tuntas sebelum akhir tahun ini seperti yang diharapkan Presiden Joko Widodo, Indonesia dipastikan mengantongi 61,2% kepemilikan saham salah satu produsen tembaga terbesar di dunia itu.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menilai ‘aksi kebut’ pemerintah itu memang ditujukan untuk memastikan wilayah tambang Papua dapat dimaksimalkan dengan baik oleh perwakilan pemerintah, dalam hal ini holding BUMN sektor pertambangan, PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID).
"Kalau hanya berharap [dengan] cadangan itu, produksinya akan jauh turun dari kapasitas saat ini yang sebesar 240.000 ton per hari," ujar Rizal saat dihubungi.
Dengan demikian, Rizal berpendapat jika nantinya wilayah kerja Freeport dimaksimalkan MIND ID sebagai perwakilan pemerintah, kegiatan eksplorasi demi mempertahankan capaian produksi dapat dimungkinkan.
Berbeda perspektif, ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai pemerintah tidak seharusnya menjadikan divestasi 10% saham Freeport sebagai fokus tahun ini, lantaran IUPK-nya saja baru akan habis 18 tahun lagi.
“Itu mutlak jangan diberikan, karena 2041 kan masih lama. Ini kan kayak ‘ijon’. Ibarat padi, belum musim panen, tetapi sudah dibeli dahulu. Jadi kalau belum saatnya, [perpanjangan IUPK] itu enggak perlu [diberikan],” ujarnya.
Dengan porsi saham pemerintah saat ini yang sebesar 51,2% saja, kata Fahmy, pemerintah sebetulnya sudah bisa menjadi pengendali Freeport. Sayangnya, fakta berkata lain lantaran dominasi Freeport-McMoRan Inc (FCX) masih sangat kental dalam proses pengambilan keputusan PTFI.
“[Entitas] yang mendominasi [PTFI] itu tetap McMoRan, yang menghendaki relaksasi ekspor konsentrat saja McMoRan, ya meskipun direkturnya Freeport Indonesia itu rambutnya hitam [warga Indonesia]. Namun, tetap saja FCX yang mengendalikan,” kata Fahmy.
Atas dasar itu, dia pun sangsi jika porsi saham pemerintah bertambah menjadi 61%, kondisi tersebut akan berubah. Belum lagi, dia menduga harga tambahan saham yang harus dibeli Indonesia pun akan mahal, meski tidak menyebutkan perkiraan nominalnya.
“Selain itu, saya kira penambahan [saham] itu kan tidak gratis. Itu kan kita perlu dana lagi [untuk mengakuisisi 10% tambahan saham PTFI], yang mungkin besar juga. Dalam kondisi Indonesia masih seperti ini, saya kira pembelian tambahan 10% itu akan memberatkan biaya Indonesia,” tuturnya.
“Jadi, di samping cost untuk mengakuisisi tambahan saham PTFI itu besar, penambahan itu bukan hal yang urgen bagi Indonesia saat ini. Semestinya bukan jadi prioritas. Enggak penting-penting amat lah." tegasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengonfirmasi bahwa pemerintah RI tengah bernegosiasi untuk menambah lagi porsi saham pemerintah di Freeport Indonesia sebesar 10% sudah mencapai tahap akhir.
Dalam pertemuan dengan CEO Freeport McMoRan Inc. Richard Adkerson di Hotel Waldorf Astoria, Washington DC, Amerika Serikat awal pekan ini; Jokowi juga menyebut lobi-lobi perpanjangan IUPK PTFI selama 20 tahun pasca-2041 juga sudah masuk tahap lanjut.
Selain penambahan porsi saham, PTFI juga diminta untuk membangun pabrik smelter baru selain di Manyar, Gresik, Jawa Timur, melainkan juga di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat.
(wdh)