Sedangkan sub-indeks pembelian barang tahan lama (durable goods) justru turun di hampir seluruh kelompok pengeluaran. Paling dalam dialami kelompok dengan pengeluaran Rp 1-2 juta (kelas bawah) yang terpangkas 3,8 poin pada Oktober dibandingkan September.
Penjualan kendaraan bermotor juga masih mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif). Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) melaporkan, penjualan mobil pada Oktober turun 13,9% yoy. Penjualan mobil mengalami kontraksi sejak Juli, jadi sudah 4 bulan berturut-turut.
Kemudian Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat penjualan turun 3,96% yoy pada Oktober. Penjualan sepeda motor mengalami kontraksi 2 bulan beruntun setelah pada September turun 0,88% yoy.
"Problemnya pada daya beli/konsumsi masyarakat bawah. Masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 5 juta saat ini punya problem daya beli. Kelas bawah yang elastis dan sensitif terhadap harga punya problem daya beli yang tertahan," tegas Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF.
Manufaktur Mulai Lesu
Saat permintaan melemah, produksi pun mengikuti. Aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) berada di 51,5 pada Oktober. Masih di atas 50, ekspansif.
Namun angka PMI manufaktur turun dibandingkan September yang 52.5. PMI manufaktur 51,5 juga menjadi yang terendah sejak Mei atau 5 bulan terakhir.
“Penurunan PMI disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan produksi. Meski masih solid, laju pertumbuhannya adalah yang terlemah dalam 4 bulan terakhir,” sebut keterangan resmi S&P Global.
Perlambatan pertumbuhan produksi adalah imbas dari penurunan pertumbuhan penjualan. Beberapa pengusaha mengaku ada penurunan permintaan pada Oktober. Sementara permintaan ekspor juga masih menurun.
“Level keyakinan dunia usaha pun menurun. Sebagai dampak dari perlambatan pertumbuhan penjualan, dunia usaha mulai mengurangi jumlah pekerja yang mencerminkan keputusan bisnis menjadi lebih konservatif,” papar Jingyi Pan, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence.
Perlambatan aktivitas industri juga tercermin dari penurunan impor bahan baku/penolong. Pada Oktober, impor kelompok tersebut turun 6,08% yoy.
“Kelompok bahan baku/penolong memberikan porsi terbesar terhadap impor non-migas. Sepanjang Januari-Oktober mencakup sekitar 73% dari total impor non-migas. Nilai impor bahan baku/penolong turun secara tahunan dan sudah terjadi selama 5 bulan terakhir,” ungkap Pudji Ismartijni, Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa.
Pada 10 bulan pertama 2023, nilai impor bahan baku/penolong turun US$ 19,32 miliar (12,65%) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Padahal, industri manufaktur adalah kontributor terbesar pembentukan PDB dari sisi lapangan usaha. Pada kuartal III-2023, sumbangannya mencapai 18,75%.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi. Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB terus menurun.
“Sebagai sektor terbesar di perekonomian dengan kontribusi hampir seperlima, manufaktur terus tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sejak 2012. Mengindikasikan adanya risiko deindustrialisasi prematur,” tegas riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Pada 2011, lanjut riset LPEM, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB masih 23%. Tahun lalu, angkanya merosot menjadi 21% dan tahun ini lebih rendah lagi.
Tidak hanya terhadap PDB, sektor manufaktur juga berperan besar dalam penciptaan lapangan kerja. Per Februari 2023, sebanyak 15,58% tenaga kerja berkarya di sektor ini, hanya kalah dari sektor perdagangan (18,93%) dan pertanian (29,36%).
“Proporsi tenaga kerja di sektor manufaktur terhadap seluruh tenaga kerja relatif. Statistik ini mengindikasikan adanya penurunan produktivitas di sektor manufaktur, seiring dengan semakin banyaknya porsi tenaga kerja di sektor ini justru menghasilkan porsi produksi yang lebih rendah,” lanjut riset LPEM.
Pelemahan konsumsi dan industri manufaktur menandakan ekonomi Indonesia sedang melambat, baik dari sisi permintaan maupun produksi/penawaran. Ini membuat prospek pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2024 menjadi sangat menantang.
“Dengan gambaran itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2023 kami prediksi sedikit menurun menjadi 5,1% dari 5,3% pada 2022. Prediksi itu menurun akibat momentum pemulihan ekonomi domestik yang lebih lambat dari perkiraan,” tulis ekonom Bloomberg Economics Tamara Henderson.
(aji/ain)