Negara-negara yang tidak memiliki target untuk mendekarbonisasi mobil termasuk India, Australia, Thailand, Turki, Indonesia, Malaysia, Rusia dan Afrika Selatan, menurut laporan tersebut.
Banyak yang tidak dapat mengimpor mobil listrik bekas dari tempat-tempat di mana dorongan untuk mendaur ulang bahan untuk produksi baterai mendapatkan momentum.
Beban keuangan dari impor di negara-negara berkembang juga akan semakin memburuk tanpa adanya tujuan yang jelas guna mengakhiri penjualan mobil bertenaga BBM, kata Scott.
Afrika menghabiskan US$80 miliar setiap tahun untuk mengimpor bahan bakar transportasi, menyumbang 2,5% dari produk domestik bruto (PDB).
Benua Afrika, Asia, dan Amerika Selatan dapat menghemat lebih dari US$100 miliar per tahun secara bersamaan untuk impor bahan bakar dan mengurangi defisit perdagangan melalui kebijakan yang mendukung adopsi kendaraan listrik.
Pemerintah seharusnya memberikan insentif bagi peralihan ini dengan kebijakan-kebijakan seperti larangan impor dan pembatasan usia pada kendaraan bekas, batasan emisi, dan penghapusan tarif pada kendaraan listrik.
Peningkatan produksi domestik dan daur ulang kendaraan listrik juga merupakan langkah-langkah penting untuk mengurangi emisi transportasi.
Menurut laporan tersebut, untuk pasar negara-negara berkembang, mempercepat peralihan ke kendaraan bertenaga baterai akan membuka peluang ekonomi mulai dari pertambangan mineral dan manufaktur hingga penjualan, infrastruktur, dan daur ulang.
(bbn)