“Jadi aksi boikot dengan asumsi produsen melanggar HAM atau hukum atau tidak bayar pajak, sebagai bentuk tanggung jawab konsumen. Kalau kita konsumsi, kita ikut berkontribusi. Misalnya dia tidak memperlakukan buruh dengan baik, berarti konsumen ikut berkontribusi menindas hak-hak buruh,” ujarnya.
“Kalau barang tersebut diproduksi oleh produsen yang melanggar HAM, terlepas dari kasus Israel, itu konsumen memang harus melakukan perlawanan untuk tidak membeli itu,” lanjutnya.
YLKI menganggap konsumen bisa menggunakan produk pengganti (substitusi) sebagai alternatif dari produk yang diboikot. Namun, bila tidak ada penggantinya, konsumen dipersilahkan untuk tetap mengkonsumsi karena menyangkut eksistensi hak hidup.
Sebagai informasi, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut seruan boikot telah menghambat hak konsumen untuk membeli suatu produk. Misalnya, kata dia, konsumen yang membutuhkan susu untuk bayinya terhambat akibat boikot dan tidak boleh membeli produk tersebut.
Ketua Aprindo, Roy Mandey mengatakan aksi boikot produk terafiliasi dengan Israel berdampak penurunan sekitar 3%-4% konsumsi belanja masyarakat secara harian di daerah-daerah tertentu.
Beberapa anggota Aprindo pun sudah mulai terdampak aksi boikot tersebut. Pihaknya saat ini sedang mengumpulkan data anggota Aprindo yang terdampak.
“Mendekati sekitar 3-4% (pengurangan) di kelompok belanja harian karena yang beredar saat ini terjadi aksi menahan atau mengurangi (pembelian),” kata Roy dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/11/2023).
(dov/ain)