Logo Bloomberg Technoz

Dengan perkiraan capaian kuartal akhir 2022 yang lebih rendah dari perkiraan, sepanjang 2022 lalu perekonomian diprediksi mencetak pertumbuhan 2,1%, meluncur turun dari capaian 5,7% pada 2021. Capaian pertumbuhan pada 2021 menjadi yang tertinggi dalam 37 tahun terakhir.

Perkiraan pertumbuhan ekonomi AS yang lebih lambat pada 2022 tidak bisa dilepaskan dari langkah agresif The Federal mengerem laju ekonomi terbesar di dunia itu menyusul lonjakan inflasi yang menggila hingga dua digit tahun lalu.

Proyeksi 2023

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana untuk 2023? Hasil survei yang digelar oleh Bloomberg terhadap 66 ekonom pada 14-20 Februari lalu, memperlihatkan, pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2023 diperkirakan masih akan tumbuh 0,5%. Perkiraan ini lebih optimistis bila dibanding hasil survei sebelumnya yang memperkirakan pertumbuhan kuartal pertama 2023 adalah 0%. 

Adapun pada kuartal II-2023, ekonomi negara adikuasa itu diperkirakan akan terkontraksi sebesar 0,5%, lebih optimistis dibanding perkiraan sebelumnya dengan prediksi kontraksi 0,6%.

Sebanyak 44 ekonom memperkirakan risiko resesi AS pada tahun ini mencapai 60%, dengan tingkat inflasi diprediksi mencapai 4% pada 2023, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 3,7%.

Inflasi yang diprediksi masih tinggi ini akan membawa The Fed untuk tetap hawkish dan mengerek bunga acuan ke level 5,5% pada akhir kuartal I-2023.

Pada 2023, perekonomian AS akan diperkirakan masih akan mencetak pertumbuhan tipis sebesar 0,8%, disusul sebesar 1,3% pada 2024 dan 2% pada 2025. 

Proyeksi terbaru ini sedikit banyak menjadi kenyataan baru yang pada akhirnya diterima oleh para pelaku pasar. Yakni bahwa perekonomian AS masih mampu tumbuh walau dalam laju lebih lambat.

“Dibandingkan dengan ekspektasi yang berkembang pada awal tahun di mana [banyak] investor meyakini bahwa resesi AS akan datang,” jelas analis dalam catatannya.

Namun, di saat yang sama pasar juga masih mewaspadai sinyal dari pasar tenaga kerja AS yang terlihat masih cukup “panas” sampai saat ini. Data terbaru menunjukkan klaim tunjangan pengangguran AS berada di level terendah dalam tiga pekan terakhir sebesar 192.000, turun 3.000 klaim dari pekan sebelumnya, berdasarkan rilis data oleh Departemen Tenaga Kerja AS. 

Klaim tunjangan pengangguran di AS turun ke level terendah 3 minggu indikasi pasar tenaga kerja masih ketat (Bloomberg)

Rendahnya angka klaim tunjangan pengangguran itu menjadi indikasi bahwa kondisi pasar tenaga kerja di negeri itu masih ketat, belum banyak berubah dari kondisi sebelumnya.

Indikator ini menjadi salah satu perhatian utama The Fed karena faktor pasar tenaga kerja ini menjadi salah satu penyebab utama mengapa inflasi di AS tetap tinggi. Dus, pada akhirnya akan membuat The Fed akan melanjutkan posisi hawkish alih-alih berbalik arah. 

Dengan perkembangan terakhir tersebut, analis menilai perlahan pasar akan tergerak untuk mereposisi ekspektasi dan strategi investasinya pada arah kebijakan The Fed dengan prediksi terminal rate FFR akan ada di level 5,5% tahun ini.

Apa artinya bagi Indonesia?

Berbagai data ekonomi terbaru dari segenap penjuru pasar global, mendapat respon beragam dari pasar domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mampu menapak ke zona hijau di level 6.866,38 pada penutupan sesi 1 perdagangan Jumat (24/2/2023) menguat 0,39% dari posisi penutupan kemarin. 

Sedangkan tekanan jual pada pasar obligasi domestik terus berlanjut terlihat dari yield Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun merangkak naik ke kisaran 6,79%. Nilai tukar rupiah menghadapi dolar AS terus melemah ke level Rp 15.218 pada pukul 12.28 WIB, Jumat.

Investor asing melepas SUN eksesif sejak dua pekan lalu. Mengutip data Bloomberg, sejak mencapai posisi tertinggi year-to-date pada 7 Februari, nilai kepemilikan asing di SUN telah longsor 1,24% ke posisi Rp 806,07 triliun pada Kamis (22/2/2023).

Tekanan eksternal yang terus mendera pasar finansial ini masih didorong oleh sentimen bunga The Fed dan stance kebijakan Bank Indonesia (BI) yang percaya diri menahan bunga acuan di level 5,75%. Bila aksi jual asing terus berlanjut, ini menjadi alarm yang tidak bisa diremehkan oleh otoritas moneter.

Kendati saat ini posisi cadangan devisa masih cukup aman, akan tetapi bila tekanan terus berlanjut, lama kelamaan bisa menggerus amunisi dan mengancam stabilitas keuangan ke depan.

Terlebih dengan semakin landainya ekspor menyusul berakhirnya rezeki runtuh komoditas, Indonesia perlu menyiapkan amunisi lebih memadai untuk menahan tekanan eksternal sehingga tidak sampai melukai stabilitas perekonomian domestik.

(rui/aji)

No more pages