Logo Bloomberg Technoz

Ketiga, kesesuaian rencana investasi Renewable Energy Based Industrial Development (REBID) dan Renewable Energy Based Economic Development (REBED).

"Jadi, terkait dengan pengembangan industri EBT yang memang akan meningkatkan demand. Kalau ada kemunduran di situ, tentunya demand juga akan mundur," tuturnya.

Keempat, soal perizinan seperti sertifikasi dan konstruksi bendungan, pengisian waduk dan izin lingkungan untuk membangun, pemanfaatan air di kawasan konservasi, dan lain sebagainya, yang di nilai masih menghambat.

Kelima, dari sisi teknis yakni kemungkinan adanya kerusakan komponen akibat bencana alam, risiko eksplorasi panas bumi yang tinggi, dan kualitas daya dan losse jaringan transmisi.

"[Keenam], dari segi pembiayaan, belum ada mitra atau sponsor untuk proyek IPP dan kesulitan keuangan oleh EPC untuk proyek PLN dan anak perusahaan PLN. Lalu isu TKDN dalam pembiayaan hibah atau pinjaman luar negeri, pengembang kehabisan ekuitas dan mencari partner baru."

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengelaborasi efisiensi biaya terhadap rencana pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT, sejalan dengan upaya menekan emisi karbon.

Pembangkit listrik EBT tersebut meliputi pembangkit bertenaga gas (PLTG), pembangkit bertenaga air (PLTA), dan pembangkit bertenaga panas bumi (PLTP).

Dalam kaitan itu, dia membeberkan, pembangunan pembangkit listrik bertenaga gas (PLTG) setidaknya membutuhkan modal rerata sekitar US$500 juta atau sekitar Rp7,7 triliun.

Angka itu dinilai lebih murah dibandingkan dengan membangun PLTA dengan kapasitas yang sama, yang membutuhkan biaya sekitar US$2 miliar atau sekitar Rp31,03 triliun. Lalu, untuk PLTP membutuhkan biaya sekitar US$2,7 miliar (Rp41,9 triliun).

"Jadi kalau kita lihat, gas ini capex-nya [capital expenditure/belanja modalnya] sangat murah, PLTA dan PLTP jauh lebih tinggi," ujarnya

Namun demikian, Darmawan menjelaskan biaya biaya bahan bakar atau fuel cost untuk PLTG terbilang cukup mahal. Sebaliknya, untuk PLTA, meski capexnya tingga, belanja operasional atau operational expenditure (opex)-nya lebih terjangkau. Sama halnya dengan PLTP.

"Artinya, apabila ini ada skenario menggunakan gas, investasinya itu bukan di awal, tetapi butuh biaya operasi yang lebih mahal, maka kita sebut back-loaded investment. Untuk PLTA dan PLTP, kita sebut front-loaded investment."

(ibn/wdh)

No more pages