Namun demikian, Darmawan menjelaskan biaya biaya bahan bakar atau fuel cost untuk PLTG terbilang cukup mahal. Sebaliknya, untuk PLTA, meski capexnya tingga, belanja operasional atau operational expenditure (opex)-nya lebih terjangkau. Sama halnya dengan PLTP.
"Artinya, apabila ini ada skenario menggunakan gas, investasinya itu bukan di awal, tetapi butuh biaya operasi yang lebih mahal, maka kita sebut back-loaded investment. Untuk PLTA dan PLTP, kita sebut front-loaded investment."
Darmawan sebelumnya mengatakan PLN dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyepakati pelaksanaan skenario Accelarated Renewable Energy Development (ARED) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan di operasionalisasi pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024—2033.
Dalam skenario tersebut, ada penambahan 75% pembangkit energi baru terbarukan dengan kapasitas 31,6 gigawatt (GW) dan 25% pembangkit gas sebesar 10,5 GW.
Proyek Pengganti PLTU
Pada perkembangan lain, Kementerian ESDM memperkirakan kebutuhan tenaga listrik Indonesia pada 2024 naik 3,6%—4,2% secara tahunan, dari konsumsi tahun ini yang diestimasikan mencapai 283,12 terawatt hour (TWh).
Jisman P. Hutajulu, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, mengatakan proyeksi tersebut akan menentukan besaran kebutuhan tambahan pembangkit dan infrastruktur penyediaan tenaga listrik lainnya, serta besaran emisi karbon Indonesia dalam jangka menengah.
“Kami sudah hampir menyelesaikan RUKN, mudah-mudahan dalam waktu dekat akan kami tetapkan dan sudah ada pembahasan dengan RUPTL, ternyata in line [antara RUKN dan RUPTL], bahkan ada istilah ‘selaras dan waras’,” ujarnya di sela Pembukaan Pameran Hari Listrik Nasional ke-78 Enlit Asia 2023 di ICE BSD, Selasa (14/11/2023).
Jisman mengelaborasi, dalam RUKN yang sedang disusun pemerintah, terdapat rencana untuk mengembangkan PLTS secara masif pada 2030, diikuti oleh pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) pada 2037.
Dia menjelaskan PLTS lebih banyak dikembangkan terlebih dahulu lantaran modal yang dibutuhkan relatif lebih rendah dengan memanfaatkan bendungan atau waduk pembangkit listrik tenaga hibrida (PLTH), menggunakan konsep PLTS terapung sebagai solusi keterbatasan lahan di daratan.
“Saat ini Indonesia memiliki 145 megawatt PLTS terapung di Cirata. Pekan lalu sudah diresmikan oleh Bapak Presiden, dan merupakan PLTS terapung terbesar di Asean. Ke depannya, kami akan mengembangkan PLTS terapung di Indonesia dengan memanfaatkan bendungan dengan potensi kapasitas sekitar 14 gigawatt,” kata Jisman.
Selanjutnya, pemerintah akan membangun PLTP dengan kapasitas 22 gigawatt (GW), melalui pengembangan teknologi PLTP yang lebih modern dan pengembangan panas bumi nonkonvensional lainnya.
“Kemudian, ada pengembangan tenaga nuklir [PLTN] akan menjadi komersial pada 2032, untuk meningkatkan kapasitas sistem tenaga listrik. Kapasitasnya akan ditingkatkan hingga 31 GW pada 2060,” lanjut Jisman.
Adapun, proyek pembangkit hidrogen dengan memanfaatkan dengan pembangkit EBT direncanakan mulai produksi 2031, untuk memenuhi kebutuhan transportasi dan industri.
Selain itu, sebagai upaya dekat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, berbagai upaya pengendalian emisi dilakukan pada pembangkit eksisting, antara lain; pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) wajib melaksanakan co-firing dengan biomassa maupun energi baru lainnya.
Program konversi pembangkit diesel (PLTD) menjadi pembangkit gas (PLTG) atau proyek dedieselisasi juga telah ditetapkan untuk mengurangi dan menghentikan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkitan tenaga listrik, serta untuk meningkatkan bauran EBT dan ketahanan energi di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Program dedieselisasi dilaksanakan pada 5.200 PLTD yang tersebar pada 2.130 lokasi di seluruh Indonesia,” kata Jisman.
Proyek kelistrikan lainnya mencakup pengembangan supergrid guna meningkatkan konektivitas dan mengoptimalkan potensi energi terbarukan di lima pulau utama, yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara—Bali.
“Kami perkirakan panjangnya sekitar 112 kilometer sirkuit dan memerlukan saluran udara maupun saluran kabel laut bertegangan tinggi. Saat ini, Pulau Jawa menjadi transmisi HPAC 500 kilovolt, sementara Sumatra sedang mengembangkan transmisi HPAC 500 kilovolt dari Sumatra Barat,” terangnya.
(ibn/wdh)