Di sisi lain, kontrak LNG dengan Gunvor menjadi biang keladi keadaan kahar PGAS, keinginan untuk mengekspor gas dinilai wajar bagi perusahaan nasional.
Ketua Bidang Investasi dan Kerja Sama Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat nilai keekonomian LNG di pasar ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan di dalam negeri.
Menurutnya, penyaluran LNG di dalam negeri acapkali tidak terserap maksimal akibat masalah infrastruktur salur gas yang belum cukup memadai.
Lantas, bagaimana kinerja ekspor LNG RI?
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM), volume ekspor LNG tercatat mengalami penurunan selama periode 2018—2022.
Pada 2022, total volume ekspor LNG indonesia sekitar 444,014 juta metric million British thermal units (MMbtu).
Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan 2021 yang sebesar 459,55 juta MMbtu, 2020 sebesar 507,431 juta MMbtu, 2019 sebesar 512,516 juta MMbtu, dan 2018 yang sebesar 696,339 juta MMbtu.
Dalam rentang tersebut, China menjadi negara tujuan utama ekspor gas alam cair RI. Negeri Panda menyumbang sekitar 30%—40% dari total ekspor LNG indonesia yang menyasar ke 13 negara.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada rentang yang sama, nilai ekspor gas Indonesia tercatat mengalami penurunan.
Pada 2018, nilai ekpor gas Indonesia mencapai US$10,4 miliar juta. Angka ini turun pada 2019 yang sebsar US$8,3 miliar, lalu anjlok lagi menjadi US$5,4 miliar pada 2020, sebelum naik lagi pada 2021 (US$7,4 miliar) dan 2022 (US$9,7 miliar).
(ibn/wdh)