Pertama, kenaikan belanja pemerintah pusat pada bagian anggaran Bendahara Umum Negara (BUN) sebesar Rp56 triliun. Yaitu dari Rp349,3 triliun menjadi Rp405,29 triliun. Perincian perubahannya ada di belanja program pelayanan umum naik Rp37,2 triliun dan belanja program ekonomi naik Rp19 triliun.
Kedua, kenaikan anggaran belanja pendidikan melalui pemerintah pusat sebesar 2% menjadi Rp624,25 triliun. Penambahan belanja ini dilakukan melalui Kementerian Sosial sebesar Rp12,02 triliun.
Perubahan postur anggaran dan belanja itu dimungkinkan melalui Perpres, tanpa perlu persetujuan DPR-RI melalui Badan Anggaran ataupun paripurna. Pemerintah kemungkinan memakai landasan dari Undang Undang Nomor 28 APBN Tahun Anggaran 2023 pasal 46 yang memberikan fleksibilitas untuk mengubah postur anggaran tanpa persetujuan dari parlemen.
Masalahnya, penambahan nilai anggaran belanja itu dilakukan ketika nilai penyerapan APBN sejauh ini masih rendah. Sampai September, realisasi belanja baru 62,2% di mana APBN juga masih mencetak surplus sebesar Rp67,7 triliun.
"Tidak ada kondisi mendesak seperti pandemi Covid-19 yang membutuhkan tambahan anggaran, apalagi tahun sudah mau selesai. Itu justru nanti akan terjadi konsekuensi dari sisi akuntabilitas," kata Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF, saat dihubungi pada Selasa (14/11/2023).
Anggaran belanja tambahan untuk Kementan, sebagai contoh, memakai argumen sebagai mitigasi dampak El Nino yang mengganggu pasokan pangan. Menurut pengamat, El Nino jauh berbeda dengan pandemi Covid-19 dari derajat kegentingan meskipun pasokan pangan yang terganggu juga dapat memicu tekanan inflasi dan menganggu daya beli masyarakat.
Di sisi lain, penambahan belanja anggaran jelang Pemilu dan Pilpres 2024 yang tinggal hitungan tak sampai 3 bulan itu, menurut pengamat, bisa membuka peluang celah bansos sebagai instrumen politik.
"Data [penyaluran] mungkin benar akan tetapi muncul potensi ada yang 'mendompleng'. Siapa yang mendapatkan alokasi di lapangan, siapa yang mengawasi, ini sangat berisiko sebagai peluang celah bansos menjadi instrumen politik," kata Tauhid.
Direktur Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menjelaskan, penambahan anggaran Kemensos Rp12,02 triliun itu sudah dalam perencanaan anggaran awal kementerian, sehingga bukan merupakan anggaran tambahan, melainkan reklasifikasi.
"Bukan tambahan. Itu reklasifikasi, penegasan adanya komponen belanja pendidikan dalam bansos PKH,” kata Isa saat dihubungi Selasa kemarin.
Sementara untuk tambahan untuk Kementan senilai Rp5,82 triliun dimasukkan dalam kategori Anggaran Belanja Tambahan. Namun, perincian terkait hal itu tidak ditemukan dalam penjelasan maupun lampiran Perpres 75.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menjelaskan di hadapan Komisi IV-DPR, Senin (13/11/2023), mengapa perlu anggaran tambahan ketika tahun 2023 tinggal tersisa tak sampai 2 bulan.
"Pertanyaan itu juga muncul dari Menteri Keuangan, kenapa harus sekarang [perlu tambahan anggaran]. Iklim, El Nino tidak mengenal tahun anggaran, datang begitu saja dan pergi begitu saja, kita yang menyesuaikan, bukan iklim yang menyesuaikan. Hujan tidak bisa dikendalikan, maka kita minta Perpres diubah. Anggaran tambahan itu disetujui dalam rapat terbatas bersama Dirjen Anggaran Kemenkeu. Insentif El Nino, BLT El Nino bukan El Nino biasa tapi masuk gorila El Nino," papar Amran panjang lebar.
Dalam rapat kerja di Komisi IV itu, hujan interupsi sempat mewarnai. "Kenapa dipaksakan harus ada ABT? Dialihkan saja pada aktivitas tahun 2024. 1,5 bulan lagi, apakah dengan ini bisa dijalankan?," ujar Anggota DPR-RI Komisi IV dari Fraksi PDI-Perjuangan Sutrisno.
Akan tetapi, pada akhirnya parlemen menyetujui anggaran tambahan tersebut. "Komisi IV DPR RI menyetujui tambahan anggaran Rp5.827.860.770.000 tahun anggaran 2023," ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR Anggia Erma Rini usai rapat kerja Kementan dengan Komisi IV di Gedung DPR, Senin.
Banjir Bansos Jelang Pemilu
'Akrobat' anggaran di mana itu banyak direncanakan dalam berbagai program bansos seakan menjadi 'lagu lama' setiap jelang Pemilu dan Pilpres di Tanah Air. Ada aroma ‘menyuap’ rakyat demi meraup suara, terutama untuk kandidat yang dekat dengan status quo.
Riset yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Masyarakat dan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) beberapa waktu lalu menyoroti hal ini.
“Dari sisi belanja, perilaku oportunistik para pemimpin dapat menyebabkan kebijakan fiskal yang ekspansif pada tahun Pemilu, terutama bagi pemimpin petahana. Selama periode ini, pemerintah diduga mengeluarkan lebih banyak dana untuk proyek-proyek yang mempunyai visibilitas tinggi dan meningkatkan belanja diskresi untuk meyakinkan para pemilih bahwa mereka melakukan pekerjaannya dengan baik dan menjamin terpilih kembali,” tulis riset tersebut.
Belanja bansos biasa meningkat jelang pemilu, itu yang terlihat pada 2004, 2009, 2014 dan 2019, berdasarkan hasil riset yang sama.
“Membandingkan belanja bantuan sosial, salah satu bentuk belanja diskresi, pada realisasi APBN dan APBN-Perubahan, terlihat bahwa pada periode pemilu, khususnya pemilu 2014 dan 2019, realisasi belanja bantuan sosial selalu lebih tinggi dibandingkan APBN-Perubahan. Dengan pengecualian selama pandemi Covid-19, rasio ini selalu lebih rendah dari 100% pada tahun-tahun non-pemilu," kata LPEM FEB UI.
Peningkatan belanja diskresi juga terlihat pada rasio belanja subsidi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Selama pemilu tahun 2004 dan 2009, belanja subsidi terhadap PDB lebih tinggi pada tahun pemilu dibandingkan dengan tahun sebelum dan sesudah pemilu. Motivasi politik para pemimpin untuk memenangkan pemilu atau bertindak demi kepentingan pemilih dapat menjadi alasan atas tren ini.
Begitu Pemilu usai, alokasi untuk bansos langsung susut. Pada 2008 misalnya, setahun jelang Pemilu 2009, realisasi anggaran bansos naik 16,04% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada 2010 setelah Pemilu usai, realisasi belanja bantuan sosial turun 6,77%. Pada 2013, belanja bansos juga melesat hingga 22% dan pada tahun Pemilu 2024 juga masih naik 6,27%. Tahun berikutnya yaitu 2015, belanja bansos turun 0,8%.
Pola yang sama berlanjut pada 2018 di mana belanja bansos naik tak tanggung-tanggung hingga 52,5%. Pada tahun di saat Pemilu 2019 dilangsungkan, belanja bansos juga masih tinggi hingga naik 33,3%. Bedanya, setelah itu terjadi pandemi Covid-19 pada 2020 sehingga belanja bansos semakin meroket ihwal kegentingan dengan kenaikan sampai 80,06%.
Paket Insentif Baru
Fenomena El Nino yang mengganggu pasokan pangan dan mengerek inflasi harga beras, menjadi alasan utama pemerintah melansir berbagai program bansos baru di ujung tahun. Paket kebijakan berupa insentif baik berupa bansos maupun insentif pajak di properti itu diyakini bisa membantu daya beli masyarakat dan menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Paket kebijakan itu selain berupa bansos beras senilai total Rp18,57 triliun dan bantuan langsung tunai (BLT) mengatasi dampak El Nino senilai Rp7,52 triliun, pemerintah juga mengguyur insentif untuk sektor properti dengan perkiraan memakan anggaran Rp3,2 triliun.
Pemerintah memperkirakan, paket-paket kebijakan itu bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 5,1% dan 5,2% pada 2024. Di mana apabila tidak ada insentif, perekonomian RI kemungkinan hanya tumbuh 5,04% tahun ini dan 5,08% tahun 2024.
Kemensos mendapat mandat menyalurkan Bantuan Langsung Tunai El Nino sebesar Rp200 ribu per bulan untuk 18,8 juta keluarga, selama November-Desember ini, dengan total dana mencapai Rp7,52 triliun. Sementara bantuan beras untuk 21,3 juta keluarga berupa beras 10 kilogram per keluarga di bulan Desember, diserahkan pelaksanaannya pada Badan Pangan Nasional (Bapanas) dengan kebutuhan anggaran Rp2,67 triliun.
Sampai September lalu, berdasarkan paparan APBNKita, total nilai anggaran yang disalurkan pada pemerintah dalam bentuk bantuan langsung pada masyarakat mencapai Rp803,5 triliun yang sebesar 57,5% BPP.
Anggaran sebesar itu terbagi untuk berbagai sektor. Sektor pendidikan mencapai Rp33,6 trilun yang tersalur dalam berbagai jenis program di antaranya program Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Pintar untuk mahasiswa, lalu Bantuan Operasional Sekolah juga Perguruan Tinggi Negeri.
Lalu, program perlindungan sosial dalam bentuk PKH senilai Rp19,5 triliun, kartu sembako Rp29,8 triliun, bansos pangan Rp8,2 triliun, juga BPJS Kesehatan untuk Penerima Bantuan Iuran sebesar Rp34,7 triliun. Total untuk sektor ini alokasinya mencapai Rp92,2 triliun.
Sementara sektor Petani dan UMKM mendapatkan bantuan benih dan pupuk senilai Rp1,2 triliun, juga bantuan alat dan mesin pertanian serta ternak sekitar Rp700 miliar. Anggaran juga disalurkan untuk infrastruktur baik itu pembangunan maupun rehabilitasi dengan pagu sebesar Rp108,6 triliun, juga bantuan bencana sebesar Rp1,8 triliun.
Adapun di kelompok belanja Non-K/L, ada subsidi dan kompensasi listrik dengan alokasi Rp77,9 triliun, subsidi LPG 3 kilogram Rp26,5 triliun, subsidi dan kompensasi BBM senilai Rp95,4 triliun, lalu subsidi perumahan Rp616,9 miliar dan Kartu Prakerja Rp3,7 triliun.
(rui/aji)