"Oleh karena itu, kami meyakini PGAS perlu melakukan pencadangan atau provisi, yang menurut perhitungan kami bisa mencapai US$100 juta hingga US$240 juta di laporan keuangan 2023, untuk mengantisipasi potensi kerugian."
Beban provisi setara senilai Rp1,57 triliun hingga Rp3,77 triliun itu belum ada apa-apanya jika dibanding dengan skenario terburuk terjadi.
"Ada potensi skenario PGAS perlu menyisihkan provisi hingga US$960 juta (setara Rp15,07 triliun) yang mencakup empat tahun kontrak, dan provisi ini akan mulai dicatatkan pada laporan keuangan PGAS periode 2023," sambung William.
Ia menambahkan, kahar terjadi hanya berselang satu tahun setelah penandatanganan perjanjian. Ini menandai awal dari perjuangan selama bertahun-tahun PGAS ke depan, karena situasi kahar saat ini dapat menghambat ekspansi ke bisnis LNG. Terutama, setelah bisnis Floating Storage Regasification Unit (FSRU) gagal lepas landas.
"Kegagalan bisnis FSRU itu muncul karena perselisihan dengan Hoegh LNG, mitra PGAS dalam bidang penyewaan kapal, sejak 2021. Di sisi lain, ekspansi PGAS ke bidang LNG sangat penting untuk pertumbuhannya di masa depan."
Bukan hanya mempengaruhi kondisi keuangan saja. Reputasi emiten yang sebagian sahamnya telah dimiliki oleh investor kawakan Lo Kheng Hong ini terganggu dengan kondisi kahar.
"Ekspansi ke sektor LNG akan menghadapi ketidakpastian akibat risiko reputasi, baik di mata trader, partner, bahkan investor," kata William.
Faktor itu yang menjadi alasan William mempertahankan rekomendasi hold saham PGAS. Target harga 12 bulan ke depan juga diturunkan menjadi Rp1.050/saham dari sebelumnya Rp1.400/saham.
(mfd/dhf)