Dua komoditas ini merupakan andalan ekspor Indonesia. Sepanjang Januari-September, ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) menyumbang 18,16% dari total ekspor non-migas. Sedangkan minyak dan lemak hewan/nabati (yang didominasi CPO) berkontribusi 11,87%.
Industri Lesu
Di sisi impor, konsensus Bloomberg menghasilkan angka median proyeksi pertumbuhan -7,41% yoy. Seperti halnya ekspor, impor Indonesia sudah mengalami kontraksi sejak Juni.
Lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi industri dalam negeri. Jadi, performa industri akan sangat menentukan besaran impor. Saat industri melambat, impor tentu akan ikut terhambat.
S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia sebesar 51,5 pada Oktober. PMI di atas 50 menandakan sektor manufaktur sedang di zona ekspansi, bukan kontraksi. Aktivitas manufaktur Tanah Air sudah 26 bulan beruntun menempati teritori ekspansi.
Namun, angka PMI manufaktur turun dibandingkan September yang 52.5. PMI manufaktur 51,5 juga menjadi yang terendah sejak Mei atau 5 bulan terakhir.
“Penurunan PMI disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan produksi. Meski masih solid, laju pertumbuhannya adalah yang terlemah dalam 4 bulan terakhir,” sebut keterangan resmi S&P Global.
Neraca Dagang Surplus Lagi?
Meski ekspor turun lebih dalam ketimbang impor, tetapi neraca perdagangan Indonesia diperkirakan masih mampu membukukan surplus. Pada Oktober, surplus neraca perdagangan diperkirakan US$ 2,95 miliar.
Jika terwujud, maka surplus neraca perdagangan akan terjadi selama 42 bulan berturut-turut. Meski surplusnya menyusut dibandingkan September yang sebesar US$ 3,42 miliar.
Surplus perdagangan sedikit banyak membantu rupiah untuk relatif stabil di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian. Sepanjang tahun ini, rupiah hanya melemah 0,8% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Kinerja rupiah jauh lebih baik ketimbang mata uang negara-negara tetangga. Ringgit Malaysia, dolar Singapura, baht Thailand, yen Jepang, dan won Korea Selatan terdepresiasi masing-masing 6,35%, 1,3%, 4,17%, 16,05%, 3,95%.
(aji)