Penurunan kinerja dari salah satu penjual terandal China ini memperlihatkan tantangan dalam merayu konsumen untuk membuka dompet mereka. China saat ini mengalami guncangan ekonomi mulai dari krisis di sektor properti hingga tingkat pengangguran generasi muda yang meningkat dan tekanan deflasi juga menambah kekhawatiran terhadap kebangkitan pertumbuhan ekonomi kedua terbesar di dunia ini;
Kinerja di pesta diskon tahunan 11.11 yang dimotori oleh Alibaba lebih dari satu dekade lalu ini telah menjadi tolok ukur sentimen konsumen China. Namun, kini sentimen itu semakin sulit diterjemahkan setelah perusahaan-perusahaan China tidak lagi mengumumkan angka penjualan selama era Covid.
Goldman Sachs memperkirakan dua plaftorm e-commerce, Alibaba dan JD.com, bisa mencapai pertumbuhan 1% hingga 3% dalam penjualan kotor pada periode tiga hingga empat minggu menjelang 11 November ketika penjual mulai melancarkan diskon besar-besaran.
Taobao dan Tmall milik Alibaba mengatakan mencatat pertumbuhan kinerja positif dalam pertumbuhan tahun ke tahun di sektor nilai kotor barang, jumlah pesanan dan pedagang yang berpartisipasi dibanding tahun lalu.
Selain pelemahan situasi makro, penjualan Li juga terkena dampak dugaan perilakunya tidak sopan. Pada September lalu, ia dikritik media sosial setelah mengatakan kepada seorang perempuan yang mengeluhkan harga pensil alis saat live streaming bahwa perempuan itu kurang kerja keras
Pada pedagang online yang berjualan secara livestream sebelumnya didewa-dewakan oleh perusahaan ritel tapi kini kehilangan daya tarik setelah mereka terlibat serangkaian skandal seperti mengemplang pajak.
Situasi ini membuat raksasa ritel global seperti Nike dan L'Oreal, serta merk lokal seperti Anta Sports Products berinvestasi membuat halaman livestreaming sendiri di platform seperti Taobao.
(bbn)