Rilis tiga instrumen moneter baru itu ditempuh BI untuk menarik minat modal asing agar masuk dan bisa menyokong kekuatan rupiah dalam melawan dominasi dolar Amerika Serikat (AS).
Instrumen-instrumen baru itu menawarkan bunga cukup tinggi agar bisa menarik minat pelaku pasar, termasuk investor asing.
Sejak diluncurkan pada 15 September lalu, SRBI sudah menggaet sedikitnya Rp144,31 triliun sampai 6 November lalu. Tawaran bunga SRBI mencapai kisaran di atas 6% untuk tenor 1-12 bulan. Bahkan dalam beberapa kali lelang, bunga diskonto SRBI sempat di kisaran 7,02% untuk tenor terpanjang 12 bulan.
Sementara di perbankan, sejauh ini rata-rata tingkat bunga deposito pada September lalu berada di kisaran 4,32-5,45% tergantung tenor simpanan. Begitu juga untuk jenis deposito valas yang sejauh ini bunganya kecil hanya di kisaran 3,39%.
Dari situ saja, para bankir berpeluang menikmati selisih setidaknya 1,55-2,68% dari penempatan dana di SRBI, tanpa perlu repot menyalurkan kredit ke sektor riil.
Mengacu pada Statistik Perbankan terakhir yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan, sampai Agustus lalu, nilai penempatan dana bank di berbagai instrumen surat berharga mencapai Rp1.868,94 triliun.
Angka itu terdiri atas penempatan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar Rp764 triliun, lalu di Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebesar Rp31,73 triliun. Kemudian di obligasi seperti Surat Berharga Negara (SBN) maupun SBN syariah (SBSN) mencapai Rp1.568,57 triliun dan di instrumen surat berharga lain sebesar Rp267,75 triliun.
Dari penempatan itu, bank menikmati cuan tidak kecil. Sampai Agustus lalu, pendapatan bunga yang dikantongi para bankir untuk penempatan di BI mencapai Rp14,25 triliun, lalu dari penempatan di surat berharga sebesar Rp72,66 triliun.
Sementara pendapatan dari peningkatan nilai wajar dan keuntungan penjualan surat berharga yang dinikmati oleh bank mencapai Rp13,36 triliun.
Memang, pendapatan dari penempatan dana di surat berharga tersebut masih lebih kecil dibanding cuan yang dikantongi bank dari penyaluran kredit baik pada masyarakat, yang sejauh ini adalah penyumbang terbesar pendapatan perbankan. Nilainya mencapai Rp398,62 triliun pada Agustus 2023.
Dengan kini tersedia 'kantong' tambahan untuk membiakkan dana, penempatan bank di surat berharga akan semakin besar.
"Tujuan utama rilis instrumen memang untuk menyerap likuiditas di masyarakat dan [pertumbuhan kredit] pasti makin lesu apalagi dengan bunga tinggi sekarang ini," kata Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Priyadi, Senin (13/11/2023).
Sebagai catatan, nilai kredit bank yang belum tersalurkan (undisbursed loan) pada Agustus lalu mencapai Rp740,38 triliun per Agustus 2023. Angka itu melonjak 16,35% dibanding Agustus 2022.
Kredit Lesu
Permasalahannya, pertumbuhan kredit perbankan sejauh ini makin melambat. Pada September lalu, kredit baru hanya tumbuh 8,7%, melambat dari bulan sebelumnya sebesar 8,96%. Capaian itu semakin jauh dari target pertumbuhan kredit tahun ini yang dipatok oleh BI di kisaran 9-11%, angka revisi dari target sebelumnya di rentang 10-12%.
Berdasarkan hasil survei permintaan dan penawaran pembiayaan perbankan yang dirilis oleh BI pada 17 Oktober lalu, terlihat bila penyaluran kredit pada Oktober diprediksi akan melanjutkan perlambatan.
"Perlambatan penyaluran kredit baru diprakirakan terjadi pada kategori Bank Umum, sedangkan di Bank Daerah dan Bank Syariah diprediksi stabil," kata BI. Perlambatan terutama untuk jenis kredit investasi dan kredit konsumsi.
Perbankan juga masih menerapkan kebijakan penyaluran kredit (lending standard) ketat di semua jenis kredit. "Faktor yang mempengaruhi perubahan standar pemberian kredit pada September antara lain kondisi permodalan bank, kondisi sektor riil saat ini serta potensi risiko kredit ke depan," jelas BI.
Minat SBN Ritel Terdampak?
Kehadiran SRBI, SVBI maupun SuVBI bukan hanya berpotensi makin memperlambat penyaluran kredit. Ada pula risiko crowding out, efek perebutan dana nasabah antara perbankan, BI dan pemerintah selaku penerbit SBN.
Dengan tawaran bunga yang diprediksi cukup tinggi, deposan berkocek tebal -high networth individual- akan banyak yang tertarik membiakkan dana di instrumen baru tersebut ketimbang bertahan di instrumen lama seperti deposito valas biasa di bank. Termasuk deposan super kaya yang selama ini banyak menempatkan valas mereka di deposito di luar negeri, seperti di Singapura.
Saat ini di perbankan Singapura yang menjadi favorit penempatan dana kaum berduit Indonesia, tawaran bunga deposito valas jauh menarik dibanding perbankan nasional. Sebagai contoh, DBS Singapura menawarkan bunga deposito valas hingga 5,18% per annum (p.a) untuk tenor 2 bulan. Sementara tenor 12 bulan diberikan bunga 4,62-4,92% p.a. Adapun HSBC Singapura menawaran rate di 3,65-3,95% tergantung tenor deposito valas dan nilai dana yang ditempatkan.
“Ini (SVBI dan SuVBI) bisa menarik dana valas dari perbankan. Kalau ada tawaran bunga lebih tinggi dan lebih sesuai dengan level global di 4-5%, maka high net-worth individuals itu akan pindah,” kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Banana Sekuritas.
Di saat yang sama, animo ke SBN ritel bisa jadi ikut surut karena para pemilik kantong tebal secara alamiah akan mencari yang lebih menguntungkan. Ini yang ditengarai terjadi kala pemerintah menawarkan SBN ritel berjenis ORI024 bulan lalu.
Animo masyarakat berinvestasi di ORI024 anjlok tajam hingga nyaris 50%, yaitu hanya sebesar Rp14,5 triliun dari tadinya mencapai Rp28,9 triliun saat penawaran ORI023. Nilai permintaan yang masuk pada ORI024 itu juga di bawah target yang ditetapkan sebesar Rp15 triliun.
Penurunan itu kemungkinan besar karena tawaran imbal hasil yang kurang menarik di mana untuk ORI024 tenor tiga tahun dan enam tahun masing-masing diberikan kupon tetap 6,1% dan 6,35%. Bandingkan dengan SRBI tenor 12 bulan yang sampai 7%.
Saat ini pemerintah juga tengah menawarkan SBN ritel baru berjenis sukuk tabungan yaitu seri ST011 tenor dua dan empat tahun, masing-masing diberikan imbalan 6,3% dan 6,5%.
(rui/aji)