Namun keinginan ini jangan sampai justru menjauhkan dari terwujudnya persaingan bisnis secara sehat di industri telekomunikasi. Operator diminta selalu memberikan peningkatan layanan kepada publik saat jumlah mereka berkurang menjadi tiga perusahaan.
“Kompetisi tetap perlu diawasi, dan disitulah konsumen akan merasakan dampaknya ketika kompetisi berjalan sehat karena dengan demikian konsumen dapat memilih mana operator yang tarifnya terjangkau, kualitasnya bagus, atau mungkin ketersediaan jaringan di wilayahnya itu ada. Itu yang akan memberikan konsumen pilihan,” kata Heru.
Diperlukan peran tambahan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan tetap hadirnya kompetisi antara operator seluler, mencegah praktik monopoli, duopoli, oligopoli, atau bentuk lain. Tidak hanya mengandalkan peran Kominfo.
“Memang ada pemain yang cukup dominan, yang dalam hal ini adalah Telkomsel, kemudian IOH (Indosat Ooredoo Hutchison), ada XL (Axiata), dan ada Smartfren. Kuncinya kompetisi dijalankan secara sehat. KPPU bisa mengawasi,” terang Heru.
“Sepanjang bersaing secara sehat, wajar, tidak masalah. Kalau tidak sehat, misal pembagian wilayah penjualan produk, ada kartel, monopoli, mungkin menjadi tidak sehat,” papar dia.
Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2023, Telkomsel masih menjadi operator selular yang paling banyak digunakan publik dengan skor 40,27%, disusul IOH (33,4%), XL Axiata (21%), terakhir Smartfren (5,32%).
Alasan terpenting publik dalam memilih operator pun masih seputar jangkauan sinyal paling kuat — lebih utama dibandingkan harga paket internet/harga promosi, atau karena murah dan hemat.
Hal yang mengindikasikan pertimbangan mayoritas publik dalam memilih Telkomsel. Dikuatkan dengan survei lain versi YouGov pada Mei 2023, bahwa anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) ini masih unggul di mata publik karena aspek jangkauan sinyal—utamanya di luar pulau Jawa dan Surabaya.
Konsolidasi Buat Bisnis Efisien
Sekitar satu dekade silam terdapat tujuh operator seluler di Indonesia. Hal ini membuat layanan terkendala karena spektrum frekuensi terbagi ke banyak pihak. “Dengan pemain yang banyak, kemudian juga dengan ‘kuenya’ yang sudah terbagi habis, artinya kan memang harus ada konsolidasi,” papar Heru.
Menteri Budi Arie dan banyak pejabat menkominfo sebelumnya juga memberi alasan serupa. Bahwa operator yang mengkonsolidasikan bisnis, apapun skemanya, akan melahirkan efisiensi.
“Supaya lebih efisien, yang penting market ecosystem harus kuat, harus tumbuh. Karena lihat dari berbagai negara, supaya industri sehat, joint sharing infrastruktur jaringan,” ucap Budi akhir minggu lalu.
Johnny Plate, saat menjabat tahun 2021, menyatakan bahwa aksi merger operator seluler jadi terobosan dalam rangka mewujudkan percepatan transformasi digital dan efisiensi industri, saat mengomentari konsolidasi dua operator Indosat dan Tri, yang kini menjadi PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk (ISAT).
Pejabat Menkominfo di era pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama, Rudiantara, pernah menyatakan bahwa konsolidasi membuat frekuensi dapat terbagi menjadi lebih ideal. “Apalagi kalau nanti infrastruktur sharing, itu makin berhemat. Kalau operatornya efisien, nanti margin bisa dijaga, sehingga ada alokasi reinvestasi dan kualitas layanan makin bagus,” tegas dia.
Menjaga margin artinya memperkecil peluang kerugian investasi dari operator seluler karena sebelumnya menjalani bisnis di spektrum frekuensi sempit. Kerugian atas situasi ini diakui Heru dialami oleh satu perusahaan, meski tidak disebutkan secara tegas.
“Sekarang yang sudah empat pemain, tapi kita lihat ada pemain yang ternyata secara keuangan, kan, belum menguntungkan, sehingga kalau didalami lagi bahwa sebenarnya lebih pas lagi tidak pemain,” ungkap Heru.
Mimpi Internet Cepat
Saat jumlah operator seluler berkurang, Indonesia berpeluang mampu menghadirkan layanan internet lebih cepat di tengah fakta bahwa ketersediaan jaringan 5G domestik masih menjadi yang terendah di dunia.
“Dengan mereka konsolidasi, frekuensi [kecepatan internet] bisa semakin lebar," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Wayan Toni Supriyanto, yang turut menegaskan pada ujungnya nilai investasi jaringan 5G, menjadi semakin murah.
Berdasarkan laporan Opensignal per Juni 2023 skor Indonesia hanya 0,9% atau menempati posisi 98 dari 140 negara yang telah menggunakan 5G. Untuk memperbaiki keadaan ini dibutuhkan percepatan investasi infrastruktur jaringan 5G yang nilainya terbilang mahal. Apalagi melihat struktur geografis Indonesia yang berupa kepulauan.
“Indonesia negara kepulauan tidak bisa disandingkan dengan negara seperti Brunei, Singapura, Vietnam, yang satu pulau itu mudah sekali,” ucap dia. “Jadi, kecepatan internet itu sangat tergantung dari investasi, kalau semakin cepat investasinya semakin mahal.”
Salah satu upaya dukungan percepatan, Kominfo menggagas insentif bagi para operator seluler. “Jadi negara investasi dulu, tidak usah bayar sehingga bisa lebih murah operator mau melakukan investasi dalam jumlah yang besar,” ucap Budi Arie.
Hingga awal November ini perhitungan insentif masih dibahas, termasuk keinginan Biaya Hak Penggunaan (BHP) 20%, dan biaya regulator 10%, dari pelaku industri. “Insentif kita sedang godok,” kata Budi Arie.
Lebih rinci, Wayan menerangkan bahwa wacana potongan BHP ini masih perlu didiskusikan antar lembaga, termasuk dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kementerian Keuangan, dan Komisi I DPR RI. “Banyak sekali yang harus diajak diskusi untuk membuat konsep insentif BHP (Biaya Hak Penggunaan),” ucap dia.
Kesepahaman diperlukan agar alokasi biaya tidak menjadi beban investasi operator seluler. “Karena sangat tergantung sekali dengan investasi, terhadap percepatan internet yang ada di Indonesia,” tegas dia.
Tantangan Koneksi Internet Indonesia
Masih ada sejumlah pekerjaan rumah dari para operator, seperti biaya internet mobile yang semakin mahal. Menduduki peringakat pertama dalam survei persepsi biaya internet mobile APJII, dengan skore 49,2%. Namun secara umum mayoritas publik memberi skor kepuasan 8 (variabel 0-10) dalam hal tingkat layanan operator seluler sepanjang tahun ini.
Ihwal gangguan pada internet mobile juga masih dirasakan publik Indonesia, dengan dua alasan teratas adalah koneksi lambat dan koneksi internet yang terputus. Survei APJII menyatakan bahwa 36,05% publik selalu mendapati gangguan pada internet mobile satu kali dalam sebulan. Sekitar 21,1% bahkan dua hingga lima kali frekuensi gangguan dalam sebulan. Namun, mayoritas (38,5%) merasa tidak pernah mengalami gangguan.
Indonesia diketahui tengah mempercepat hadirnya layanan digital, sebagai bagian dari program pembangunan infrastruktur teknologi nasional. Salah satunya penyelesaian pembangunan Base Transceiver (BTS) 4G. Target dari Kominfo 5.600 BTS, yang menjadi program kerja Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi akan bisa selesai dan on air di akhir November ini.
XL-Fren, Bergabungnya Dua Kekuatan Pelanggan
XL Axiata dan Smartfren memiliki pelanggan yang tidak bisa dianggap kecil. Berdasarkan data keuangan per Juni, XL mengakumulasi 58 juta pelanggan, sedangkan Smartfren pada laporan akhir 2022 mencatatkan 36 juta pelanggan.
Setelah beberapa bulan belum ada kejelasan, dua operator XL Axiata dan Smartfren akhirnya mulai memberi klarifikasi seputar wacana merger. Smartfren, yang terafiliasi dengan grup bisnis Sinarmas tegas mengatakan, “terbuka untuk melakukan pembicaraan mengenai rencana konsolidasi dengan pelaku industri lain yang bertujuan untuk efisiensi operasional, sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi pemegang saham,” diwakili oleh James Wewengkang, Corporate Secretary.
Hal serupa disampaikan kubu anak usaha Axiata Investment Sdn Bhd asal Malaysia, melalui Reza Mirza, Group Head Corporate Communications. “XL Axiata senantiasa terbuka untuk menjajaki berbagai kemungkinan untuk dapat melakukan aksi konsolidasi dengan pihak manapun, namun tentunya hal ini merupakan ranahnya pemegang saham,” jelas Reza.
Bloomberg News pada 5 September melaporkan bahwa masing-masing pemegang saham kedua entitas membuka opsi merger XL Axiata-Smartfren. Menurut sumber, Sinarmas dan Axiata Bhd. bekerja sama dengan tim penasihat untuk menjajaki potensi transaksi atas konsolidasi ini, meski tidak menurut kesepakatan lain seperti berbagi jaringan ataupun kemitraan.
Jika merger terlaksana, maka ini menjadi konsolidasi bisnis operator telekomunikasi kedua dalam tiga tahun terakhir di Indoensia. Dimana pada 2021 terjalin transaksi senilai US$6 miliar antara Qatar Ooredoo dengan CK Hutchison Holdings Ltd.
(wep/roy)