Logo Bloomberg Technoz

Pernyataan Jerome Powell yang tidak akan ragu mengerek bunga lagi bila diperlukan ditengarai berlatar belakang kesadaran bahwa inflasi inti AS sejauh ini masih terlalu 'keras kepala' ditaklukkan.

Inflasi inti menghitung inflasi harga di luar makanan dan harga energi (BBM) sehingga dianggap lebih mencerminkan inflasi sesungguhnya. 

Penurunan inflasi inti AS terbilang lambat, membuat The Fed waspada lanjutkan pengetatan (Bloomberg)

Bila perkiraan pasar terkait inflasi inti AS jadi kenyataan, maka itu akan menjadi bulan ketiga berturut-turut di mana inflasi inti naik 0,3%. Sementara bila dibandingkan Oktober 2022, inflasi inti diperkirakan naik 4,1%. 

Angka itu akan menyamai kenaikan inflasi tahunan pada September dan menghentikan perlambatan inflasi yang telah berlangsung selama enam bulan terakhir. 

Jadi, meskipun ada kemajuan besar penurunan inflasi, akan tetapi tingkatannya masih tetap tinggi dan berada di atas target The Fed.

Ini yang dianggap menjadi sumber kegelisahan The Fed yang melihat penaklukkan inflasi masih jauh dari selesai, sehingga Powell menyatakan dengan gamblang sebuah kalimat yang membuyarkan 'pesta' di pasar pekan lalu.

"Jika diperlukan pengetatan kebijakan lebih lanjut, kami tidak ragu melakukannya. Namun, kami akan terus bergerak hati-hati sehingga memungkinkan kami mengatasi risiko disesatkan oleh data beberapa bulan yang bagus dan risiko pengetatan berlebihan," kata Powell, Kamis pekan lalu.

Laporan inflasi AS pada Selasa nanti juga akan menjadi indikator pertama dari serangkaian data yang akan memberikan gambaran sekilas tentang kinerja perekonomian Amerika pada kuartal IV-2024.

Amerika juga akan melansir data penjualan ritel dan inflasi harga produsen. Kesemuanya akan dicermati oleh pasar demi menentukan lebih presisi arah bunga The Fed.

Dampak ke rupiah

'Perang' melawan inflasi yang belum berkesudahan bagi The Fed telah sekian lama menyandera pergerakan pasar global.

Nasib rupiah terombang-ambing di antara prospek tingkat bunga acuan AS dan ketahanan dalam negeri yang semakin terkikis terlihat dari penurunan nilai cadangan devisa sampai Oktober lalu.

Rupiah juga terbebani penurunan pamor surat utang RI yang dinilai semakin tidak menarik dengan selisih imbal hasil (yield spread) yang terus menyempit. 

Selisih imbal hasil antara Surat Berharga Negara (SBN), surat utang terbitan pemerintah RI, dengan surat utang AS yaitu Treasury, kini tinggal 218 basis poin (bps).

Selisih itu terbilang sangat sempit dan membuat SBN jadi kurang menarik dikoleksi pemodal asing mengingat peringkat kredit RI yang masih kalah dengan kelas aset negara maju.

Para analis asing menilai, yield SBN perlu naik hingga ke kisaran 7,5% atau naik sekitar 70 bps dari posisi saat ini, untuk bisa menarik lagi minat pemodal global masuk lebih besar, menurut analisis dari JPMorgan Asset Management dan First Sentier Investors seperti dilansir dari Bloomberg News.

Sementara instrumen baru BI, yaitu SRBI, yang menawarkan bunga diskonto lebih tinggi di kisaran 6,98% dalam lelang terakhir 10 November lalu, diharapkan bisa menarik modal asing masuk sehingga rupiah bisa tersokong.

Bila data inflasi AS memberi kabar baik, yaitu berakhirnya siklus kenaikan bunga acuan The Fed, animo pemodal asing bisa kembali lagi masuk ke pasar Indonesia dan menyokong kekuatan nilai tukar rupiah.

(rui/aji)

No more pages