Dicky juga mengatakan hingga kini masih terjadi perdebatan dalam skala global terkait metode Wolbachia, yang mana mayoritas masuk dalam posisi kontra. Ditambah lagi dengan kondisi dunia yang sedang menghadapi pemanasan global, suhu yang terlalu panas dapat mempengaruhi densitas Wolbachia.
"Sebetulnya efek pemanasan global terlihat dari beberapa riset. Bahwa suhu yang panas ini membuat dampak dari Wolbachia memediasi pathogen blocking ini sebenarnya menurun karena suhu panas, masa inkubasi dari nyamuk menjadi infectious setelah menggigit seseorang yang terinfeksi itu menjadi lebih pendek. Ini yang menjadi tidak terkejar efektifitasnya sama Wolbachia," jelas Dicky.
"Jadi dalam konteks pengendalian penyakit bersumber nyamuk ini yang menjadi ancaman kesehatan global, ada peran-prang yang tidak bisa dipisahkan sehingga sifatnya sangat kompleks. Dari virusnya sendiri, yaitu faktornya nyamuk, manusia, dan lingkungan. Ini semua sangat berpengaruh. Sehingga dalam riset seperti ini, masing-masing faktor harus diperhatikan dampaknya," lanjutnya.
Dicky mengatakan strategi yang paling utama untuk mencegah DBD adalah dengan 3M, yaitu menguras dan menyikat, menutup tempat penampungan air, dan mendaur ulang barang bekas.
"Ini tidak bermaksud mengecilkan riset. Potensinya ada, tapi menurut saya masih agak jauh untuk bisa kita jadikan program yang luas. Saya cenderung jangan banyak-banyak dulu, yang sekali lagi kita harus pastikan bagaimana mekanisme monitoringnya," tambah Dicky.
"Banyak hal yang bisa didiskusikan di sini. Tapi sekali lagi, hati-hati memilih pendekatan yang sifatnya melakukan intervensi pada alam, dan itu sangat berbahaya," tutupnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1341 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan pilot project Penanggulangan Dengue, Wolbachia diuji coba di lima kota. Yaitu, Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang.
(del)