Strategi Usang Jinakkan Inflasi, Cabai dan Beras Masih Mahal
Ruisa Khoiriyah
12 November 2023 09:00
Bloomberg Technoz, Jakarta - Kenaikan harga cabai, beras juga berbagai bahan kebutuhan dapur bukan tahun ini saja terjadi. Harga cabai, misalnya, sudah beberapa kali memecah rekor kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, karena pengaruh cuaca yang berdampak pada pasokan.
Akan tetapi, fenomena roller coaster harga pangan bergejolak (volatile foods) di Indonesia, seolah-olah tidak memiliki solusi permanen yang strategis supaya bisa dicegah terjadi di masa mendatang. Penanganan inflasi terutama terkait harga pangan, di mata ekonom, sejauh ini masih berputar pada solusi-solusi jangka pendek sehingga diragukan bisa mencegah hal serupa terjadi di masa mendatang.
"Pengendalian inflasi melalui bantuan sosial juga subsidi, itu solusi jangka pendek saja. Perlu dikombinasi strategi jangka menengah dan panjang yang sejauh ini belum terlihat," kata Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual dalam obrolan bersama Bloomberg Technoz, beberapa waktu lalu.
Solusi yang sifatnya lebih struktural mulai dari pembenahan data antar daerah untuk pemantauan dan mobilisasi pasokan, lalu penyediaan insentif bagi inovasi produksi terkait pangan, juga memberi sokongan bagi produsen yang mau menggarap barang impor berharga mahal, seharusnya didorong, menurut ekonom.
Indonesia bisa mencontoh langkah negara-negara maju yang mengendalikan inflasi dengan menggarap sisi hulu, yakni pasokannya, menurut ekonom.
Amerika Serikat, melalui Inflation Reduction Act, memberikan banyak insentif bagi industri-industri yang meningkatkan produksi barang impor berharga mahal seperti semikonduktor.
"Dengan memperbanyak pasokan di dalam negeri, harga otomatis turun dan inflasi bisa ditekan," jelas David.
Meski kini Negeri Paman Sam itu masih berjibaku menaklukkan inflasi akibat pasar tenaga kerja yang ketat, apa yang sudah diinisiasi Amerika bisa dilihat sebagai contoh upaya mengatasi masalah hulu inflasi yakni pasokan. Inflasi terpicu bila pasokan lebih kecil ketimbang permintaan.
Selain itu, ada isu data yang lemah juga masih menjadi momok di Indonesia. "Data kita perlu dibereskan, supaya terlihat apakah kita kelebihan pasokan atau kekurangan, daerah mana yang surplus mana yang kurang, dan sebagainya. Dari sini saja belum dibereskan," kata David.
Ada 'missing link' dari keseluruhan strategi pengamanan pasokan dalam negeri kala dalam jangka waktu sekian tahun Indonesia yang dulu pernah menjadi eksportir beberapa komoditas strategis, kini justru menjadi importir. Impor bawang juga semakin besar dari tahun ke tahun.
"Pemerintah juga penting mempelajari perubahan perilaku masyarakat di mana taraf hidup makin naik, selera pangan juga bergeser mungkin lebih banyak ke tepung-tepungan yang sejauh ini banyak impor," jelas David seraya menambahkan antisipasi dari kenaikan permintaan menyusul perubahan diet masyarakat perlu dipikirkan.
Biaya besar
Pemicu inflasi di Indonesia selama ini tidak pernah jauh dari masalah pasokan beras, lalu pergerakan harga komoditas volatile foods seperti cabai-cabaian, bawang, juga harga bahan bakar minyak (BBM).
Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir, menurut ekonom, tidak terlihat ada upaya membangun solusi yang lebih struktural dalam menyelesaikan faktor-faktor pemicu inflasi tersebut. Padahal alokasi anggaran untuk pengendalian inflasi tidaklah kecil.
Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo masih berkutat pada solusi instan seperti pengucuran bantuan sosial, juga pemberian insentif bagi daerah-daerah yang berhasil menekan inflasi serta pada saat yang sama mengancam pencopotan kepala daerah yang gagal mengendalikan inflasi.
Upaya mengamankan masalah pasokan pangan melalui program yang dikenal sebagai "food estate", juga tidak jelas. Ribuan hektar lahan sudah dibabat, semula diperuntukkan untuk ditanami berbagai bahan pangan penting. Akan tetapi, berakhir mubazir.
Pemerintah mengalokasikan lebih dari Rp1.631 triliun anggaran khusus untuk pengendalian inflasi selama periode 2020-2023. Alokasi anggaran inflasi naik tajam pada 2022, menembus Rp640,1 triliun dari sebesar Rp273 triliun tahun sebelumnya. Sementara untuk 2023 alokasi anggaran pengendalian inflasi ditetapkan Rp443,8 triliun.
Anggaran pengendalian inflasi itu mewujud dalam berbagai bentuk belanja. Mulai belanja wajib perlindungan sosial (bansos, subsidi sektor transportasi angkutan umum daerah), penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 Tahun 2022 tentang Belanja Wajib dalam rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022.
Daerah yang dianggap berhasil mengendalikan tingkat inflasi akan mendapatkan apresiasi. Pemerintah bahkan mengalokasikan hadiah insentif khusus total Rp1 triliun tahun ini bagi daerah-daerah yag dianggap cakap mengendalikan tekanan harga, di mana setiap kuartal disiapkan sebesar Rp330 miliar.
Berdasarkan pantauan di Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia, Minggu (12/11/2023), harga beras medium 1 dan II masih bertahan di kisaran Rp14.750 dan Rp14.500 per kilogram. Beras jenis medium adalah beras terbanyak yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Harga beras sudah melesat nyaris 20% setahun terakhir, tertinggi dalam satu dasawarsa.
Sementara harga cabai rawit merah masih terus naik ke kisaran Rp78.100 per kilogram. Cabai-cabai jenis lain juga terus naik hingga double digit seperti cabai merah keriting yang naik 12,3% menjadi Rp65.750 per kilogram. Harga bawang merah juga naik 7,7% jadi Rp29.950 per kilogram.
Gula pasir juga melanjutkan kenaikan di harga Rp16.450 per kilogram untuk jenis gula pasir lokal. Sedangkan gula premium sudah di Rp16.900 per kilogram. Harga daging sapi kualitas 1 dan 2 juga terus melesat naik masing-masing jadi Rp138.000 per kilogram dan Rp129.100 per kilogram.